KOMUNIKASI ORGANISASI DALAM PERSPEKTIF OBJEKTIF dan PERSPEKTIF SUBJEKTIF Hasil gambar untuk gambar komunikasi organisasi DR. ILONA V. OISINA SITUMEANG, MSi UCAPAN TERIMA KASIH Buku ini merupakan buku ketiga penulis yang berjudul: Komunikasi Organisasi Dalam Perspektif Objektif dan Perspektif Subjektif, buku terinspirasi dari buku kedua penulis yang berjudul: Corporate Social Responsibility dipandang dari Perspektif Komunikasi Organisasi yang masih memiliki keterkaitan. Dalam pembuatan buku ini penulis banyak menerima saran dan masukan dari berbagai pihak. Saat yang tepat untuk penulis ucapkan terima kasih sebagai penghormatan atas segala dukungan dan kontribusi yang diberikan hingga buku ini dapat diselesaikan, Ucapan ini mengalir tulus kepada: 1. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS., Dr. Ir. H. Amiruddin Saleh, MS dan Prof. Dr. H. Darwis S. Gani, MA (Alm) yang tidak pernah sekejab lekang dari doa dan ingatanku yang dengan iklas menghantarkan penulis menjadi seorang doktor termuda IPB ditahun 2012. 2. Dr. Ir. Sumardi Dahlan, MS dan Dr Sri Desti Purwatiningsih, MSi sebagai sahabat dan orang tua yang senantiasa memberikan masukan dan saran, tidak pernah ada kata persaingan namun saling membantu yang selalu ditanamkan. Terima kasih buat kebersamaan yang indah tak lekang oleh waktu. 3. Kedua orang tua Drs. Salmon Alfred Situmeang, M.Hum dan Elfrida Moliana br Simanjuntak yang selalu mendoakan dengan tidak henti-hentinya, serta memberikan motivasi yang luar biasa agar buku ketiga ini segera terbit. Tidak ada kata yang bisa kuukirkan hanya doa yang bisa kupanjatkan untuk kebahagiaan dan umur yang panjang untuk kedua orangtuaku. 4. Kakak Inge Viola Oitsuky Situmeang, SE., M.Si dan AKP Maradop Oktavianus Sitinjak, SE, dan ponakanku Quinza Caila Latisa Sitinjak. Adek dr. Ivonne Ruth Vitamaya Oishi Situmeang M.Kes dan dr. Jerry Lumban Tobing Sp THT, dan ponakanku Ivory Vanesa Rowlee Abigael Lumban Tobing dan Ivry Velove Rodoito Aurechloei Lumban Tobing yang senantiasa memberikan motivasi, semangat serta doa yang terus mengalir. 5. Keluarga besar mertua Bapak Samidi di Karanganyar - Solo dan Jakarta yang senantiasa memberikan semangat, motivasi, dukungan dan doa kepada penulis untuk dapat menyelesaikan buku ini. 6. Terutama untuk suami tercinta Ir. Priyono, MM. yang selalu memberikan dukungan, semangat serta doa yang tiada henti agar buku ini dapat terselesaikan. Walau tidak pernah terdengar kalimat yang mengutarakan kebanggaannya pada sang istri akan apa yang telah ku raih tapi ku yakin ini semua dilakukan agar aku tidak cepat berpuas diri dengan apa yang sudah kuraih. 7. Tidak lupa juga kuucapkan terima kasih buat motivator dan penyemangat terbesar dalam hidup ini, kebanggaanku dan buah cintaku Pricillo Bhamakerty Abimanyu atas keceriaan dan kepintaran yang diperlihatkan setiap waktu sebagai obat di saat letih dan kehabisan ide. Suatu saat nanti kamu akan mengerti bahwa yang mami lakukan sekarang adalah untuk kebanggaan dan kehormatan keluarga kita. Dan buah cinta ku yang kedua semoga begitu kamu lahir, akan terlahir sebagai anak yang cinta membaca. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu masukan dan kritikan yang selalu menjadi penyemangat hidupku untuk terus berkarya hanya dapat kusampaikan lewat doa semoga Tuhan Yang Maha Pengasih yang selalu memberkati kita dan memberikan kesempatan untuk hidup yang bermanfaat. Satu hal yang selalu terkenang dengan perkataan Prof. Dr. H. Darwis S. Gani, MA (Alm) semua orang bisa baca buku namun belum tentu semua orang bisa membuat buku. Terus semangat untuk berkarya selama masih ada waktu. Salam Hormat -IVOS- Buat Pelita Hatiku.... Pricillo Bhamakerty Abimanyu, Saatnya ku yakin kamu akan lebih mencintai pengetahuan... Buah Cintaku yang kedua..... Kuyakin saat kamu lahir kamu akan terlahir sebagai anak yang cinta membaca..... PENGANTAR Komunikasi dalam suatu organisasi menjadi suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan, komunikasi organisasi bertujuan agar terciptanya kesamaan makna diantara pihak-pihak yang berkomunikasi. Komunikasi organisasi dapat dilakukan dengan publik internal dan eksternal perusahaan. Komunikasi dalam organisasi dilakukan bertujuan untuk menyatukan berbagai aspek untuk kepentingan dan tujuan bersama. Komunikasi organisasi internal (komunikasi dengan anggota di dalam organisasi) dapat berupa penyampaian informasi, instruksi tugas kerja dan segala hal yang terkait dengan pelimpahan tugas, dengan anggota organisasi, sedangkan komunikasi organisasi eksternal (komunikasi dengan pihak di luar organisasi) dapat berupa pengiriman dan penerimaan pesan dengan berbagai pihak eksternal untuk menjalin hubungan kerja yang harmonis. Tujuan komunikasi dalam organisasi memberikan banyak manfaat secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan komunikasi, yaitu memudahkan para anggota organisasi dalam bekerja dari instruksi yang diberikan atasan dan untuk mengurangi kesalahpahaman yang biasa terjadi dalam suatu organisasi. Apabila semua bawahan dan atasan dapat berinteraksi dengan baik melalui komunikasi vertikal, maka seluruh kesalahpahaman yang beresiko menimbulkan konflik akan terminimaliskan. Dalam penyampaian pesan didalam organisasi dapat dilakukan melalui komunikasi verbal dan komunikasi non verbal untuk menghindari dari kesalahpahaman. Komunikasi dalam organisasi dapat dilakukan secara langsung (face to face) ataupun dengan media komunikasi yang mendukung suatu organisasi dapat berjalan dengan maksimal, seperti melalui: buletin, surat edaran, papan pengumuman dan melalui media baru seperti email dan media sosial. Komunikasi dalam organisasi yang kondusif baik secara langsung maupun dengan menggunakan media akan membantu bawahan untuk dapat bekerja dengan maksimal. Komunikasi organisasi yang kondusif juga dapat membantu pemimpin untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan organisasi yang dipimpinnya. Berkomunikasi dan bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan akan membantu organisasi mencapai tujuan yang diharapkan. DAFTAR ISI Ucapan Terima Kasih Kata Pengantar Daftar Isi Bab I Komunikasi Organisasi Pengertian Komunikasi Organisasi 3 Karakteristik Komunikasi Organisasi 8 Proses Komunikasi Organisasi 9 Fungsi Komunikasi Organisasi 10 Pendekatan Dalam Komunikasi Organisasi 12 Hambatan Dalam Komunikasi Organisasi 15 Bab II ARUS PESAN KOMUNIKASI ORGANISASI Komunikasi Internal 19 Komunikasi Eksternal 26 Komunikasi Dalam Bisnis Internal 29 Bab III Iklim Komunikasi Organisasi Pengertian Iklim Komunikasi Organisasi 32 Proses Perkembangan Iklim Komunikasi Organisasi 37 Dimensi Iklim Komunikasi Organisasi 37 Persoalan dalam Iklim Komunikasi 38 Perkembangan Iklim Komunikasi dalam Organisasi 40 Kepuasan Komunikasi Organisasi 40 Iklim Organisasi 42 Bab IV Budaya Organisasi Pengertian Budaya Organisasi 50 Proses Terbentuknya Budaya Organisasi 56 Dimensi Pengukuran Budaya Organisasi 59 Budaya Dengan Profesionalisme 63 Bab V Gaya Kepemimpinan Pengertian Kepemimpinan 66 Karakteristik Kepemimpinan 68 Tanggung Jawab Dan Wewenang Kepemimpinan 69 Peranan Kepemimpinan 70 Sifat-Sifat Pemimpin 70 Fungsi Kepemimpinan 72 Gaya Kepemimpinan 73 Tipe Gaya kepemimpinan 76 Sifat – sifat Pemimpin 81 Teori Kepemimpinan 83 Teori Perilaku 85 Teori Situasional 86 Bab VI Jaringan Komunikasi Pengertian Jaringan Komunikasi 90 Peranan Jaringan Komunikasi Dalam Proses Perubahan Perilaku 91 Proses Komunikasi Pada Jaringan Komunikasi 92 Analisis Jaringan Komunikasi 93 Jaringan Komunikasi dan Adopsi Inovasi 96 Bab VII Saluran Dan Media Komunikasi Dalam Organisasi Pengertian Saluran Komunikasi 104 Media Internal Dalam Organisasi 111 Daftar Pustaka Riwayat Hidup Sinopsis BAB I KOMUNIKASI ORGANISASI Pengertian Komunikasi Organisasi Karakteristik Komunikasi Organisasi Proses Komunikasi Organisasi Fungsi Komunikasi Organisasi Pendekatan dalam Komunikasi Organisasi Hambatan dalam Komunikasi Organisasi Organisasi saat ini lebih memfokuskan kepada kepentingan masyarakat dan peran serta masyarakat dibandingkan pada konsep ekonomi organisasi semata yang hanya mencari profit. Namun pada organisasi modern telah mengembangkan proses bahwa perusahaan bukan hanya tempat bekerja untuk menghasilkan barang dan jasa, menghasilkan profit semata tetapi juga meghasilkan suatu hubungan yang baik dengan para stakeholder. Organisasi komersial masyarakat barat telah memberikan hak–hak yang legal kepada masyarakat dan juga lingkungan. Hak dan tanggungjawab dari setiap anggota organisasi adalah memikul tanggung jawab yang besar untuk kemajuan organisasi. Kegiatan komunikasi dalam sebuah organisasi merupakan jaringan kerja komunikasi dengan usaha memperoleh kegiatan dari masing-masing unit individu yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. Komunikasi bukan hanya menjadi masalah “stimuli-respon” tetapi sekaligus menjadi mekanisme koordinasi, kontrol dan hubungan satu sama lain. Komunikasi internal merujuk pada pesan-pesan yang dikirim dan diterima anggota organisasi di dalam suatu organisasi. Komunikasi menjadi sangat penting bagi sebuah organisasi, dimana informasi penting bagi komunikasi yang efektif. Seseorang yang mengendalikan informasi akan mengendalikan kekuatan organisasi. Struktur organisasi ditentukan oleh keefektifan komunikasi. Ketika organisasi diharuskan mencapai tujuan, maka anggota-anggota yang berada dalam organisasi akan bekerja sesuai dengan fungsinya dalam struktur organisasi yang telah ditetapkan. Setiap struktur saling melengkapi dan mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Konsekuensinya, angggota di dalamnya akan saling berhubungan baik dalam pencapaian tujuan. Dengan demikian, anggota-anggota dalam organisasi tersusun ke dalam sistem yang saling berhubungan satu samalain, yang mampu menginterpretasikan pesan secara baik, menerima pesan yang datang dari anggota organisai sendiri maupun yang datang dari luar, dan juga harus mampu mengkomunikasikan sesuatu kepada siapa dan dengan cara apa sehingga terdapat kesamaan makna. Komunikasi dalam organisasi dapat terjadi dalam bentuk kata-kata yang ditulis atau diucapkan (komunikasi verbal), maupun dengan gesture, atau simbol visual, yang menghasilkan perubahan tingkah laku (komunikasi non verbal) di dalam organisasi,. Komunikasi tersebut yang dilakukan seperti antara manajer dengan manajer, manajer dengan karyawan, dan perusahaan dengan asosiasi yang terlibat dalam pemberian ataupun mentransfer komunikasi. Hasil akhirnya adalah pertukaran informasi baik pengiriman dan penerimaan makna atau proses aktivitas komunikasi dalam organisasi. A. Pengertian Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi lebih dari pada sekedar apa yang dilakukan orang-orang. Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi didalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto, 2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan pernyataan, jumpa pers dan surat-surat resmi. Adapun komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan kepada organisasinya, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual. Sedangkan menurut West and Turner (2010): Organizational communication pertains to communication within and among large, extended environtments (yang membedakan antara komunikasi organisasi dengan small group communication adalah di dalam organisasi terdapat sistem hierarki). Lebih lanjut Goldhaber (Muhammad, 2009) memberikan definisi komunikasi organisasi adalah: “organizational communications is the process of creating and exchanging message with in a network of interdependent relationship to cope with environmental uncertainty” komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan bertukar pesan dengan dalam jaringan hubungan saling tergantung untuk mengatasi ketidakpastian lingkungan. Komunikasi organisasi memberi dan menerima informasi dalam suatu organisasi yang kompleks, yang mencakup bidang komunikasi internal, hubungan manusia, hubungan kelompok manajemen baik komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas dan komunikasi ke samping, serta kepandaian berbicara, mendengarkan, menulis dan mengevaluasi program komunikasi (Goldhaber, 1993). Komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling bertukar pesan dalam suatu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau selalu berubah-berubah (Goldhaber, 1993). Komunikasi organisasi sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian-bagian dari suatu organisasi tertentu. Di lain pihak, komunikasi organisasi merupakan bagian yang penting dalam proses organisasi yang selalu berkaitan dengan jaringan sebagai cara untuk mengorganisir. Jaringan adalah strukur sosial yang diciptakan untuk melakukan komunikasi dengan individu yang lain, membuat kontak hubungan dan saluran dimana pengaruh dan kekuasaan disalurkan melalui manajemen baik yang bersifat formal maupun yang bersifat informal dalam organisasi (Pace dan Faules, 2002). Menurut Effendy (2009) berdasarkan ruang lingkupnya, komunikasi organisasi dibedakan atas dua, yaitu komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Komunikasi internal adalah komunikasi yang berlangsung dalam ruang lingkup organisasi saja sedangkan komunikasi ekternal adalah komunikasi yang berlangsung antara organisasi dengan pihak masyarakat ataupun pihak yang ada diluar lingkup organisasi. Communication in organizations is generally understood to be the goal-oriented transmission of a message aimed at eliciting cognitive, affective or behavioural responses from a target audience. A brief review of this conceptualisation allows for a number of key observations. Communication in organizations: 1. Implies the transmission of a message. 2. Explicitly attempts to elicit some kind of response. 3. Involves the existence of an identified target audience. 4. Satisfies organizational goals (Omeno, 2007). Menurut Liliweri (2007), komunikasi organisasi adalah komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok yang bersifat impersonal (komunikasi yang berstruktur) yang dilakukan oleh pribadi atau kelompok/unit kerja dalam satu organisasi. Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi. 1. Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi. Misalnya adalah memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan surat-surat resmi. 2. Komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan pada organisasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual. Komunikasi dalam organisasi adalah juga dapat diartikan sebagai komunikasi di suatu organisasi yang dilakukan pimpinan, baik dengan para karyawan maupun dengan khalayak yang ada kaitannya dengan organisasi, dalam rangka pembinaan kerja sama yang serasi untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi (Muhammad, 2009). Analisis komunikasi organisasi menyangkut penelaahan atas banyak transaksi yang terjadi secara simultan. Sistem komunikasi organisasi yang dikemukakan oleh (Mulyana, 2005) antara lain: 1. Pertunjukan dan penafsiran pesan diantara lusinan atau bahkan ratusan individu pada saat yang sama memiliki jenis-jenis hubungan berlainan yang menghubungkan mereka, yang pikiran, putusan, dan prilakunya diatur oleh kebijakan-kebijakan. 2. Regulasi, dan aturan-aturan yang mempunyai gaya berlainan dalam berkomunikasi, mengelola dan memimpin. 3. Dimotivasi oleh kemungkinan-kemungkinan yang berbeda, pada tahap perkembangan berlainan dalam berbagai kelompok. 4. Mempersepsikan iklim komunikasi berbeda, yang mempunyai tingkat kepuasan berbeda dan tingkat kecukupan informasi yang berbeda pula. 5. Lebih menyukai dan menggunakan jenis, bentuk, dan metode komunikasi yang berbeda dan mempunyai tingkat ketelitian pesan yang berlainan serta membutuhkan penggunaan tingkat materi dan energy yang berbeda untuk berkomunikasi efektif. Secara spesifik menurut Levis aktivitas komunikasi organisasi ada tiga, yaitu: 1. Operasional Internal, yakni menstruktur komunikasi yang dijalankan dalam sebuah organisasi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kerja. 2. Operasional Eksternal, yakni struktur komunikasi dalam organisasi yang berkonsentrasi pada pencapaian tujuan-tujuan kerja yang dilaksanakan oleh orang dan kelompok di luar organisasi. 3. Personal, yakni semua perubahan insidental dan informasi dan perasaan yang dirasakan oleh manusia yang berlangsung kapan saja mereka bersama Lewis (Rahman, 2000). Menurut Zelko dan Dance (Muhammad, 2009), menjelaskan bahwa komunikasi organisasi adalah suatu sistem yang saling tergantung yang mencakup komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Komunikasi internal maksudnya adalah komunikasi dalam organisasi itu sendiri seperti komunikasi dari bawahan kepada atasan, komunikasi dari atasan kepada bawahan dan komunikasi sesama karyawan sedangkan komunikasi eksternal adalah komunikasi yang dilakukan organisasi terhadap lingkungan luar berupa hubungan dengan masyarakat umum, komunikasi hasil produksi. Menurut Muhammad (2009), menjelaskan bahwa: 1. Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu sistem terbuka yang kompleks yang dipengaruhi oleh lingkunganya sendiri baik internal maupun eksternal. 2. Komunikasi organisasi meliputi pesan dan arusnya, tujuannya, arah dan media. 3. Komunikasi organisasi meliputi orang dan sikapnya, perasaannya, hubungannya dan ketrampilannya. Bisa dikatakan bahwa komunikasi yang berjalan dalam organisasi merupakan alat penghubung yang penting yang dilakukan oleh anggota organisasi. Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam organisasi karena dalam kenyataanya masalah komunikasi selalu muncul dalam proses organisasi, namun melalui komunikasi lah masalah tersebut dapat diselesaikan. Komunikasi dalam organisasi menjadi sistem aliran yang menghubungkan dan membangkitkan kinerja antar bagian dalam organisasi sehingga menghasilkan sinergi. Pola komunikasi yang terjadi dalam organisasi itu sendiri banyak dipengaruhi oleh kegiatan dan fungsi public relations. Dalam fungsi public relations terdapat berbagai macam bentuk hubungan yang dapat dilakukan. Diantaranya yang umum dilakukan adalah, community relations, government relations, consumer relations, investor relations, media relations dan employee relations. Semua bentuk hubungan-hubungan tersebut diatur oleh public relations, dengan tujuan untuk mencapai pengertian publik (public understanding), kepercayaan publik (public confidence), dukungan publik (public support), dan kerjasama publik (public cooperation) (Bonar, 1993). Tujuan komunikasi organisasi antara lain untuk memberikan informasi baik kepada pihak luar maupun dalam dalam memanfaatkan umpan balik dalam rangka proses pengendalian manajemen, mendapatkan pengaruh, alat untuk memecahkan persoalan dalam rangka pengambilan keputusan, mempermudah perubahan-perubahan yang akan dilakukan, mempermudah pembentukan kelompok-kelompok kerja, serta dapat dijadikan untuk menjaga pintu ke luar masuk dengan pihak-pihak di luar organisasi (Umar, 2002). Ada beberapa persepsi para ahli tentang apa yang dimaksudkan dengan komunikasi organisasi (Muhammad, 2009): 1. Persepsi Redding dan Sanborn, Menurut mereka komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Meliputi: komunikasi internal, hubungan manusia, hubungan persatuan pengelola, komunikasi downward komunikasi upward, komunikasi horizontal, keterampilan berkomunikasi, menulis dan komunikasi evaluasi program. 2. Persepsi Katz dan Khan, Katz dan Khan mengatakan komunikasi organisasi merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam suatu organisasi. 3. Persepsi Greenbaunm, Greenbaunm menyatakan bahwa bidang komunikasi organisasi termasuk arus komunikasi formal dan informal dalam organisasi. Dia membedakan komunikasi internal dan eksternal dan memandang peranan komunikasi terutama sebagai koordinasi pribadi dan tujuan organisasi dan masalah menggiatkan aktivitas. 4. Persepsi Zelko dan Dance, Menurut mereka komunikasi organisai dibagi menjadi dua: Komunikasi internal, komunikasi dalam organisai itu sendiri seperti komunikasi dari bawahan keatasan dan sebaliknya serta komunikasi diantara sesama bawahan. Komunikasi Eksternal, komunikasi yang dilakukan organisasi terhadap lingkungan luar, seperti komunikasi dalam penjualan hasil produksi, pembuatan iklan, dan hubungannya dengan masyarakat umum. Menurut Tubbbs dan Moss (Sendjaja 2004) didalam komunikasi organisai terdapat 3 model komunikasi: 1. Model komunkasi linier (one way view of communication), dimana komunikator memberikan suatu stimuli dan komunikan melakukan respons yang diharapkan. 2. Model interaksional yang menjadi kelanjutan dari model linier, di mana ada gagasan umpan balik (feedback) yakni penerima (receiver) melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respons terhadap pesan dari pengirim (sender). Komunikasi didalam model ini dipertimbangkan sebagai proses dua arah. 3. Model transaksional, di dalam model ini dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) diantara dua orang atau lebih. Sehingga dari batasan yang dapat digambarkan bahwa di dalam suatu organisasi adanya suatu jenjang jabatan atau kedudukan yang memungkinkan semua individu dalam organisasi tersebut memiliki perbedaan posisi yang sangat jelas serta pembagian kerja dalam arti setiap bidang yang ia miliki akan menjadi tanggung jawabnya. B. Karakteristik Komunikasi Organisasi Adapun karakteristik dari komunikasi organisasi antara lain: 1. Adanya suatu jenjang jabatan: yang memungkinkan setiap individu dalam organisasi tersebut memiliki perbedaan posisi yang jelas, seperti adanya pimpinan dan karyawan. 2. Adanya komunikasi dua arah atau komunikasi timbal balik atau arus komunikasi: yaitu yang memiliki fungsi membantu penyampaian informasi/instruksi kerja. 3. Adanya suatu keinginan atau tujuan bersama yang ingin dicapai dalam organisasi tersebut dari masing-masing individu. 4. Adanya pembagian kerja, dimana setiap individu didalam organisasi tersebut memiliki satu bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan menurut Goldhaber (1993) karakteristik dari komunikasi organisasi antara lain: 1. Terjadi di dalam suatu sistem terbuka yang kompleks yang dipengaruhi oleh lingkungan internal (budaya) dan eksternal. 2. Komunikasi organisasi melibatkan pesan-pesan dan arusnya, tujuan, arah, dan media yang digunakan. 3. Komunikasi organisasi melibatkan orang-orang dengan sikap, perasaan, hubungan, dan kemampuan-kemampuannya. Menurut Van R & Fombrun (2007), karakteristik komunikasi organisasi adalah: 1. Komunikasi organisasi ditujukan kepada audiens korporat seperti stakeholders, jurnalis, analis, regulator, dan legislator. 2. Komunikasi organisasi memiliki perspektif jangka panjang dan tidak secara langsung ditujukan untuk tujuan penjualan. 3. Komunikasi organisasi mengaplikasikan jenis yang berbeda sebab pesan-pesannya lebih formal dan tidak berlebihan seperti pesan-pesan komunikasi pemasaran. C. Proses Komunikasi Organisasi Dalam tataran teoritis, paling tidak kita mengenal atau memahami komunikasi dari dua perspektif, yaitu perspektif kognitif dan perspektif perilaku. Menurut Colin Cherry perspektif kognitif adalah penggunaan lambang-lambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna atau berbagi informasi tentang satu objek atau kejadian. Informasi adalah suatu (fakta, opini, gagasan) dari satu partisipan kepada partisipan lain melalui penggunaan kata-kata atau lambang lainnya. Sementara BF. Skinner dari perspektif perilaku memandang komunikasi sebagai perilaku verbal atau simbolik dimana sender berusaha mendapatkan satu respons melalui lambang-lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimulti untuk memperoleh respons (Sendjaja 2004). Menurut Jerry W. Koehler, bagi suatu organisasi, perspektif perilaku dipandang lebih praktis karena komunikasi dalam organisasi bertujuan untuk mempengaruhi penerima (receiver). Suatu respon khusus diharapkan oleh pengirin (sender) dari setiap pesan yang disampaikannya. Ketika suatu pesan mempunyai efek yang dikehendaki, bukan suatu persoalan apakah informasi yang disampakan tersebut merupakan tindak berbagi informasi atau tidak (Sendjaja 2004). Proses komunikasi diawali oleh sumber (source) baik individu ataupun kelompok yang berusaha berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain. Adapun proses komunikasi dalam organisasi terbagi dalam empat langkah yaitu: 1. Langkah pertama, yang dilakukan sumber adalah ideation yaitu penciptaan satu gagasan atau pemilihan seperangkat informasi untuk dikomunikasikan. Ideation ini merupakan landasan bagi suatu pesan yang akan disampaikan. 2. Langkah kedua, dalam penciptaan suatu pesan adalah encoding, yaitu sumber menerjemahkan informasi atau gagasan dalam wujud kata-kata, tanda-tanda atau lambang-lambang yang disengaja untuk menyampaikan informasi dan diharapkan mempunyai efek terhadap orang lain. Pesan atau message adalah alat-alat dimana sumber mengekspresika gagasannya dalam bentuk bahasa lisan, bahasa tertulis ataupun perilaku non verbal. 3. Langkah ketiga, dalam proses komunikasi adalah penyampaian pesan yang telah disandi (encode). Sumber penyampaian pesan kepada penerima dengan cara berbicara, menulis, menggambar ataupun melalui tindakan tertentu. Kita mengenal istilah channel atau saluran, yaitu alat-alat untuk menyampaikan suatu pesan. Sumber berusaha untuk membebaskan saluran komunikasi dari gangguan ataupun hambatan, sehingga pesan dapat sampai kepada penerima seperti yang dikehendaki. 4. Langkah keempat, perhatian dialihkan kepada penerima pesan. Jika pesan itu bersifat lisan, maka penerima perlu menjadi seorang pendengar yang baik, dalam peruses ini penerima melakukan decoding yaitu memberikan penafsiran interpretasi terhadap pesan yang disampaikan. Tahap terakhir dalam proses komunikasi adalah feedback atau umpan balik. Respons atau umpan balik dari penerima terhadap pesan yang disampaikan sumber dapat berwujud kata-kata ataupun tindakan-tindakan tertentu. Umpan balik inilah yang dapat dijadikan landasan untuk mengevaluasi efektifitas komunikasi (Sendjaja 2004). D. Fungsi Komunikasi dalam Organisasi Dalam suatu organisasi baik yang berorientasi komersial maupun sosial, komunikasi dalam organisasi atau lembaga tersebut akan melibatkan empat fungsi menurut Menurut Sendjaja (2004), yaitu: 1. Fungsi informatif, Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem pemrosesan informasi (information-processing system). Maksudnya, seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik dan tepat waktu. Informasi yang didapat memungkinkan setiap anggota organisasi dapat melaksanakan pekerjaannya secara lebih pasti informasi pada dasarnya dibutuhkan oleh semua orang yang mempunyai perbedaan kedudukan dalam suatu organisasi. Orang- orang dalam tataran manajemen membutuhkan informasi untuk membuat suatu kebijakan organisasi ataupun guna mengatasi konflik yang terjadi di dalam organisasi, sedangkan karyawan (bawahan) membutuhkan informasi tentang jaminan keamanan, jaminan sosial dan kesehatan, izin cuti dan sebagainya. 2. Fungsi Regulatif, ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. Pada semua lembaga atau organisasi, ada dua hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif ini, yaitu: a. Atasan atau orang-orang yang berada dalam tataran manajemen yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan. Disamping itu mereka juga mempunyai kewenangan untuk memberikan instruksi atau perintah, sehingga dalam struktur organisasi kemungkinan mereka ditempatkan pada lapis atas (position of authority) supaya perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana semestinya. Namun demikian, sikap bawahan untuk menjalankan perintah banyak bergantung pada: i. Keabsahan pimpinan dalam penyampaikan perintah. ii. Kekuatan pimpinan dalam memberi sanksi. iii. Kepercayaan bawahan terhadap atasan sebagai seorang pemimpin sekaligus sebagai pribadi. iv. Tingkat kredibilitas pesan yang diterima bawahan. b. Berkaitan dengan pesan. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya berorientasi pada kerja, Artinya: bawahan membutuhkan kepastian peraturan-peraturan tentang pekerjaan yang boleh dan tidak boleh untuk dilaksanakan. 3. Fungsi Persuasif, Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan yang lebih suka untuk mempersuasi bawahannya daripada memberi perintah. Sebab pekerjaan yang dilakukan secara sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih besar dibanding kalau pimpinan sering memperlihatkan kekuasaan dan kewenangannya. 4. Fungsi Integratif, Setiap organisasi berusaha menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat dilaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Ada dua saluran komunikasi formal seperti penerbitan khusus dalam organisasi tersebut (newsletter, buletin) dan laporan kemajuan oraganisasi, juga saluran komunikasi informal seperti perbincangan antarpribadi selama masa istirahat kerja, pertandingan olahraga ataupun kegiatan darmawisata. Pelaksanaan aktivitas ini akan menumbuhkan keinginan untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri karyawan terhadap organisasi. Menurut Conrad (Tubbs dan Moss, 2005) mengidentifikasikan tiga fungsi komunikasi organisasi sebagai berikut: 1. Fungsi perintah, berkenaan dengan angota-anggota organisasi mempunyai hak dan kewajiban membicarakan, menerima, menafsirkan dan bertindak atas suatu perintah. Tujuan dari fungsi perintah adalah koordinasi diantara sejumlah anggota yang bergantung dalam organisasi tersebut. 2. Fungsi relasional, berkenaan dengan komunikasi memperbolehkan anggota-anggota menciptakan dan mempertahankan bisnis produktif hubungan personal dengan anggota organisasi lain. Hubungan dalam pekerjaan mempengaruhi kinerja pekerjaan (job performance) dalam berbagai cara. Sebagai contoh: kepuasan kerja, aliran komunikasi ke bawah maupun ke atas dalam hirarki organisasional, dan tingkat pelaksanaan perintah. Pentingnya dalam hubungan antar baik lebih terasa dalam pekerjaan ketika anda merasa bahwa banyak yang perlu dilakukan tidak anda pilih, tetapi diharuskan oleh lingkungan organisasi, sehingga hubungan menjadi kurang stabil, lebih memacu konflik, kurang ditaati, dan sebagainya. 3. Fungsi manajemen, ambigu berkenaan dengan pilihan dalam situasi organisasi sering dibuat dalam keadaan yang sangat ambigu. Sebagai contoh: motivasi berganda muncul karena pilihan yang diambil mempengaruhi rekan kerja dan organisasi, demikian juga diri sendiri, tujuan organisasi tidak jelas dan konteks yang mengharuskan adanya pilihan terjelas. E. Pendekatan dalam Komunikasi Organisasi Menurut Griffin (2003), membahas komunikasi organisasi dengan mengikuti teori management klasik, yang menempatkan suatu bayaran pada daya produksi, presisi, dan efisiensi. Adapun prinsip-prinsip dari teori manajemen klasikal adalah sebagai berikut: 1. Kesatuan komando, suatu karyawan hanya menerima pesan dari satu atasan. 2. Rantai skala, garis otoritas dari atasan ke bawah, yang bergerak dari atas sampai ke bawah untuk organisasi; rantai ini, yang diakibatkan oleh prinsip kesatuan komando, harus digunakan sebagai suatu saluran untuk pengambilan keputusan dan komunikasi. 3. Divisi pekerjaan, manejemen perlu arahan untuk mencapai suatu derajat tingkat spesialisasi yang dirancang untuk mencapai sasaran organisasi dengan suatu cara efisien. 4. Tanggungjawab dan otoritas, perhatian harus dibayarkan kepada hak untuk memberi order dan ketaatan seksama suatu ketepatan keseimbangan antara tanggung jawab dan otoritas harus dicapai. 5. Disiplin, ketaatan, aplikasi, energi, perilaku, dan tanda rasa hormat yang keluar seturut kebiasaan dan aturan disetujui. 6. Mengebawahkan kepentingan individu dari kepentingan umum, melalui contoh peneguhan, persetujuan adil, dan pengawasan terus-menerus. Selanjutnya, menurut Griffin (2003) menyadur tiga pendekatan untuk membahas komunikasi organisasi. Ketiga pendekatan itu adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan sistem. Karl Weick (pelopor pendekatan sistem informasi) menganggap struktur hirarki, garis rantai komando komunikasi, prosedur operasi standar merupakan unsur dari inovasi. Organisasi sebagai kehidupan organisasi harus terus menerus beradaptasi kepada suatu perubahan lingkungan dalam orde untuk mempertahankan hidup. Pengorganisasian merupakan proses memahami informasi yang samar-samar melalui pembuatan, pemilihan, dan penyimpanan informasi. Weick meyakini organisasi bertahan dan tumbuh subur hanya ketika anggota-anggotanya mengikutsertakan banyak kebebasan (free-flowing) dan komunikasi interaktif. Untuk itu, ketika dihadapkan pada situasi yang mengacaukan, pimpinan harus bertumpu pada komunikasi dari pada aturan- aturan. Teori Weick tentang pengorganisasian mempunyai arti penting dalam bidang komunikasi karena menggunakan komunikasi sebagai basis pengorganisasian manusia dan memberikan dasar logika untuk memahami bagaimana orang berorganisasi. Menurutnya, kegiatan-kegiatan pengorganisasian memenuhi fungsi pengurangan ketidakpastian dari informasi yang diterima dari lingkungan atau wilayah sekeliling (Muhammad, 2009). Dengan menggunakan istilah ketidakjelasan untuk mengatakan ketidakpastian, atau keruwetan, kerancuan, dan kurangnya predictability. Semua informasi dari lingkungan sedikit banyak sifatnya tidak jelas, dan aktivitas-aktivitas pengorganisasian dirancang untuk mengurangi ketidakpastian atau ketidakjelasan. Weick memandang pengorganisasian sebagai proses evolusioner yang bersandar pada sebuah rangkaian tiga proses: Penentuan (enachment), Seleksi (selection) dan Penyimpanan (retention). 2. Pendekatan budaya Asumsi interaksi simbolik mengatakan bahwa manusia bertindak tentang sesuatu berdasarkan pada pemaknaan yang mereka miliki tentang sesuatu itu. Mendapat dorongan besar dari antropolog Clifford Geertz, ahli etnografi, peneliti budaya yang melihat makna bersama yang unik adalah ditentukan organisasi. Organisasi dipandang sebagai budaya. Suatu organisasi merupakan sebuah cara hidup (way of live) bagi para anggotanya, membentuk sebuah realita bersama yang membedakannya dari budaya- budaya lainnya. Pacanowsky dan para teoris interpretatif lainnya menganggap bahwa budaya bukan sesuatu yang dipunyai oleh sebuah organisasi, tetapi budaya adalah suatu organisasi. Budaya organisasi dihasilkan melalui interaksi dari anggota-anggotanya. Tindakan-tindakan yang berorientasi tugas tidak hanya mencapai sasaran-sasaran jangka pendek tetapi juga menciptakan atau memperkuat cara-cara yang lain selain perilaku tugas ”resmi” dari para karyawan, karena aktivitas-aktivitas sehari-hari yang paling membumi juga memberi kontribusi bagi budaya tersebut. Pendekatan ini mengkaji cara individu-individu menggunakan cerita-cerita, ritual, simbol-simbol, dan tipe-tipe aktivitas lainnya untuk memproduksi dan mereproduksi seperangkat pemahaman (Pace & Faules, 2002). 3. Pendekatan kritik. Stan Deetz, salah seorang penganut pendekatan ini, menganggap bahwa kepentingan- kepentingan organisasi sudah mendominasi hampir semua aspek lainnya dalam masyarakat. Kehidupan banyak ditentukan oleh keputusan-keputusan yang dibuat atas kepentingan pengaturan organisasi-organisasi, atau manajerialisme (Robbins, 2008). Ada bermacam-macam pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi. Menurut Schein mengatakan bahwa organisasi adalah: suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hierarki otoritas dan tanggung jawab (Muhammad, 2009). Organisasi mempunyai karakteristik tertentu, struktur, tujuan, saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan tergantung kepada komunikasi manusia untuk mengkoordinasikan aktivitas dalam organisasi tersebut. Sifat tergantung antara satu bagian dengan bagian lain menandakan bahwa organisasi yang dimaksud Schein merupakan suatu sistem. Menurut Kochler (1976) mengatakan bahwa organisasi adalah: sistem hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasikan usaha suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Organisasi adalah suatu bentuk sistem terbuka dari aktivitas yang dikoordinasi oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Stoner organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan melalui mana orang-orang dibawah pengarahan atasan mengejar tujuan bersama. Menurut Robins (2008), organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Dari beberapa definisi diatas ada tiga hal yang sama-sama dikemukakan yaitu: 1. Organisasi merupakan suatu sistem, mengkoordinasikan aktivitas dalam mencapai tujuan bersama atau tujuan umum. Dikatakan suatu sistem karena organisasi itu sendiri dari berbagai bagian yang saling tergantung satu sama lain. Setiap organisasi memerlukan koordinasi supaya masing-masing bagian dari organisasi bekerja menurut semestinya dan tidak mengganggu bagian yang lainnya. Tanpa koordinasi sulitlah organisasi itu berfungsi dengan baik. 2. Organisasi memiliki aktivitas sesuai dengan jenis organisasi. Suatu organisasi terbentuk apabila suatu usaha memerlukan usaha lebih satu orang untuk menyelesaikannya. Kondisi ini timbul disebabkan oleh karena tugas yang terlalu besar, kompleks untuk ditangani satu orang. Oleh karena itu suatu organisasi melibatkan banyak orang dalam interaksi dan kerjasama. 3. Organisasi merupakan suatu stuktur tertentu yang berhubungan dengan manusia yang tumbuh dan bertambah matang melalui skema yang didesain dengan aturan-aturan tertentu. Elemen pertumbuhan yang didesain adalah suatu respon rasional terhadap tekanan dari dalam untuk memperluas atau membentuk hubungan kembali karena diperlukan secara fungsional. Dalam perkembangannya organisasi sangat bervariasi ada yang sangat sederhana ada pula yang sangat kompleks. Maka untuk membantu memahami organisasi ada beberapa elemen dasar dari organisasi yang saling berkaitan satu dengan lainnya. F. Hambatan Komunikasi Organisasi Komunikasi tidak selamanya berjalan dengan lancar. Banyak sekali terdapat kesalahan-kesalahan penyampaian, penerimaan, bahkan kesalahan ketika harus mengartikan pesan atau informasi yang diterima. Menurut (Effendy, 2009) dalam berorganisasi tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang dapat menghambat jalannya proses komunikasi, diantaranya adalah: 1. Hambatan Sosio-Antro-Psikologis a. Hambatan Sosiologis: merupakan hambatan yang terjadi karena adanya status sosial, ideology, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan, dan sebagainya. b. Hambatan Antropologis: hambatan komunikasi yang terjadi akibat adanya perbedaan postur, warna kulit, dan kebudayaan, gaya hidup, norma, kebiasaan, dan bahasa. c. Hambatan Psikologis: komunikasi yang terhambat karena komunikan sedang sedih, bingung, marah, merasa kecewa, merasa iri hati dan adanya prasangka pada komunikator. 2. Hambatan Semantik. Hambatan ini ditimbulkan oleh komunikator. Kadang terjadi karena salah ucap dalam menyalurkan pikiran dan perasaan, sehingga timbul salah pengertian (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation), yang akhinya menimbulkan salah komunikasi (miscommunication). 3. Hambatan Mekanis. Hambatan yang terjadi pada media yang digunakan untuk berkomunikasi. Contoh: suara telepon yang tidak jelas, ketikan huruf yang buram pada surat suara yang hilang dan muncul pada saluran radio. BAB II ARUS PESAN KOMUNIKASI ORGANISASI Komunikasi Internal Komunikasi Eksternal Komunikasi dalam Bisnis Internal Komunikasi dalam suatu organisasi penting untuk dilakukan agar tidak terjadinya salah persepsi dan pemaknaan. Komunikasi dilakukan bertujuan dalam penyampaian informasi antar anggota dalam organisasi agar tercapainya tujuan tertentu. Sebuah interaksi yang bertujuan untuk menyatukan seluruh aspek untuk kepentingan bersama sangat dibutuhkan dalam sebuah tujuan berorganisasi. Tanpa adanya sebuah interaksi yang kondusif tidak ada organisasi yang akan mencapai tujuannya. Interaksi disini adalah mutlak meliputi seluruh anggota organisasi, interaksi dapat berupa penyampaian-penyampaian informasi, instruksi tugas kerjaatau mungkin pembagian tugas kerja. Interaksi sebenarnya adalah proses hubungan komunikasi antara dua orang atau lebih dimana orang yang satu bertindak sebagai pemberi informasi dan orang yang lain berperan sebagai penerima informasi dan terjadi secara bergantian. Intinya, seharusnya melibatkan dan terfokus kepada orang-orang dalam suatu organisasi. Proses penyampaian informasi yang berguna untuk mengkoordinasi lingkungan dan interaksi dari orang-orang demi mencapai suatu tujuan. Dalam organisasi, komunikasi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan untuk keberlangsungan suatu organisasi. Komunikasi dalam organisasi terbagi atas komunikasi internal dan komunikasi eksternal. A. Komunikasi Internal Komunikasi internal dalam suatu organisasi merupakan suatu proses penyampaian pesan diantara anggota-anggota organisasi yang terjadi untuk kepentingan organisasi, seperti komunikasi antara pimpinan dengan bawahan, antara sesama bawahan, dan lain-lain. Komunikasi internal didefinisikan oleh Lawrence D. Brennan (Effendy, 2009) sebagai: Interchange of ideas among the administrators and its particular structure (organization) and interchange of ideas horizontally and vertically within the firm which gets work done (operation and management). (Pertukaran gagasan diantara para administrator dan karyawan dalam suatu perusahaan atau jawatan yang menyebabkan terwujudnya perusahaan atau jawatan tersebut lengkap dengan strukturnya yang khas (organisasi) dan pertukaran gagasan secara horizontal dan vertikal di dalam perusahaan atau jawatan yang menyebabkan pekerjaan berlangsung (operasi dalam manajemen). Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa komunikasi internal merupakan penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain di dalam suatu organisasi. Komunikasi akan berhasil dengan baik apabila timbul saling pengertian. Komunikasi yang baik dimaksudkan jalinan pengertian antara pihak yang satu ke pihak yang lain, sehingga apa yang dikomunikasikan dapat dimengerti, dipikirkan dan dilaksanakan. Tanpa adanya komunikasi yang baik pekerjaan akan menjadi tidak jelas sehingga tujuan organisasi kemungkinan besar tidak akan tercapai. Jadi dengan komunikasi maka seseorang akan menerima dan mengirimkan informasi sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran atau perasaan sehingga orang lain dapat mengerti. Menurut Effendy (2009) komunikasi internal ditunjang oleh dua komunikasi, yaitu komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal. Dimensi komunikasi internal, terdiri dari arus komunikasi vertikal dan arus komunikasi horizontal. 1. Arus Komunikasi Vertikal (Vertical Communication Flow) Aliran komunikasi vertikal mencakup seluruh transaksi yg meliputi aliran informasi ke bawah maupun ke atas yang terjadi antara Atasan dan bawahan dalam organisasi, diantaranya: a. Komunikasi dari atas ke bawah (Downward Communication) Komunikasi ini merupakan saluran yang paling sering digunakan dalam oganisasi. Arus komunikasi ini adalah pengiriman pesan dari pimpinan (supervisi) ke bawahan (subordinate). Arus ini digunakan untuk mengirim perintah, petunjuk, tujuan, kebijakan, memorandum untuk pekerja pada tingkat yang lebih rendah dalam organisasi. Masalah yang paling mendasar adalah bahwa komunikasi dari atas ke bawah hanya mempunyai satu arah saluran, yakni tidak menyediakan feedback (umpan balik) dari pekerja dalam organisasi itu. Asumsinya adalah bahwa jika pekerja mengetahui apa yang diketahui oleh manajer, maka mereka akan memaksakan diri untuk menyelesaikan masalah organisasi/perusahaan. Artinya, informasi mengarah pada pemahaman dan pemahaman menghasilkan tindakan-tindakan serta penyelesaian yang diinginkan. Menurut Philip (Rahman, 2000) ada jenis tipe khusus downward communications, yaitu: 1. Job Instruction (Instruksi Kerja), yakni komunikai yang merujuk pada penyelesaian tugas-tugas khusus. 2. Job Rationale (Rasio Kerja), yakni komunikasi yang menghasilkan pemahaman terhadap tugas dan hubungan dengan pengaturan lainnya. 3. Procedure and Practice (Prosedur dan Pelaksanaan), yakni komunikasi tentang kebijakan-kebijakan, aturan-aturan, regulasi dan manfaat-manfaat yang ada. 4. Feedback (Umpan Balik), yakni komunikasi yang menghargai tentang bagaimana individu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. 5. Indoctrinations of goals, yakni komunikasi yang dirancang dengan karakter idiologi yang memberikan motivasi karyawan tentang pentingnya suatu missi organisasi secara keseluruhan. Dua hal yang dapat terjadi berdasarkan tipe di atas adalah keterbatasan dan ketidakjelasan. Beberapa alasan yang menyebabkan komunikasi dari atas ke bawah tidak berjalan efektif adalah: 1. Terdapat ketidakjelasan dalam mendefinisikan tanggung jawab tentang komunikasi dari atas ke bawah. 2. Kurangnya pemahaman manajemen terhadap bawahannya. 3. Manajemen tidak mempunyai waktu untuk mengetahui apakah teknik komunikasi yang mereka sajikan efektif atau tidak. 4. Manajer tidak mengadakan pertemuan tatap muka antar supervisi dan non supervisi untuk membicarakan kondisi usaha dan pekerjaan. 5. Kurangnya program pelatihan komunikasi dalam rangka mengajarkan kepada manajemen personalia tentang seni dalam memahami aturan permainan yang ada dan sasaran pekerja serta perbedaan sistem nilai yang ada. 6. Manajer kurang mendengar masukan dari bawahan terhadap masalah yang dihadapi oleh bawahan terkait dengan pekerjaan. Konsekuensi untuk menghindari terjadinya komunikasi yang tidak efektif maka manajer harus lebih banyak mengadakan pertemuan dengan para pekerjanya. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka hasil yang muncul dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Atasan gagal dalam menjelaskan tugas-tugas para bawahan atau gagal dalam memberikan gambaran yang akurat tentang posisi mereka dalam organisasi. 2. Bawahan juga gagal memahami penjelasan yang diberikan, dan mungkin mereka berada pada posisi tidak mampu atau tidak boleh mempertanyakan hal tersebut. 3. Manajer dan bawahan mungkin saja memiliki konflik tentang nilai. Metode dasar downward communications memiliki tiga elemen penting yang harus dipertimbangkan oleh manajer, yakni: 1. Menspesifikasikan sasaran untuk mengkomunikasikannya. 2. Memastikan bahwa isi dari komunikasi memiliki kualitas berikut: Akurasi, Spesifikasi, Kekuatan, Orientasi dan penerima, Simplisitas, Tidak ada makna yang disembunyikan. 3. Menerapkan teknis komunikasi yang paling baik dalam rangka mendapat pesan secara efektif antar para penerima. Kunci utama dari downward communication adalah bahwa pekerja harus bereaksi secara lebih efejktif terhadap masalah-masalah yang mereka anggap sebagai kepentingan paling personal terhadap atasannya. Namun yang terpenting di sini adalah jika manajer dan pekerja ingin mencapai tujuan dari peran-perannya secara jelas dan memperoleh informasi yang akurat, maka setiap kelompok membutuhkan pemahaman tentang arus komunikasi. Bentuk komunikasi yang berlangsung, antara lain: 1. Untuk memberikan pengarahan atau instruksi kerja (spesifik). 2. Untuk memberikan informasi mengapa suatu pekerjaan harus dilaksanakan. 3. Untuk memberikan informasi tentang prosedur dan praktek-praktek organisasional. 4. Untuk menyajikan informasi mengenai aspek ideologi dalam membantu organisasi menanamkan pengertian tentang tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Bentuk-bentuk komunikasinya, seperti: 1. Rantai perintah. 2. Plakat dan papan pengumuman. 3. Majalah perusahaan. 4. Surat pada karyawan. 5. Buku petunjuk karyawan. 6. Kotak informasi. 7. Sistem pengeras suara. 8. Secarik kertas tanda terima gaji. 9. Laporan tahunan. 10. Pertemuan kelompok. 11. Serikat pekerja. b. Komunikasi dari bawah ke atas (Upward Communication) Komunikasi ini adalah komunikasi yang berasal dari bawahan (subordinate) kepada atasan (supervisi) dalam rangka menyediakan feedback (umpan balik) bagi manajemen. Para pekerja menggunakan saluran komunikasi ini sebagai kesempatan untuk mengungkapkan ide-ide atau gagasan yang mereka ketahui. Asumsi dasar dari komunikasi upward ini adalah bahwa pekerja harus diperlakukan sebagai partner dalam mencari jalan terbaik untuk mencapai tujuan. Komunikasi dari bawah ke atas akan menarik ide-ide dan membantu pekerja untuk menerima jawaban yang lebih baik tentang masalah dan tanggung jawabnya serta membantu kemudahan arus dan penerimaan komunikasi dari bawahan ke atasan (manajer), yakni dalam hal ini pendengaran yang baik menghasilkan pendengar yang baik. Upward communications memiliki lima tipe khusus, yaitu: 1. Informasi tentang sikap pekerja, moral dan efisiensi yang berhubungan dengan kebijakan, perencanaan, dan maslah-masalah. 2. Pengembangan yang signifikan dalam unit-unit kerja departemen. 3. Kesalahan yang menurunkan efisiensi. 4. Masalah tidak diketahui cara penyelesaiannya oleh pekerja. Beberapa alasan yang menyebabkan upward communications tidak berjalan efektif adalah: 1. Banyak pekerja yang takut menganggap bahwa mengekspresikan hal-hal yang sebenarnya tentang perusahaan sangat berbahaya. 2. Pekeja percaya bahwa jika mereka bertentangan dengan pimpinan, maka hal itu akan menghalangi promosi. Kritik dan ekspresi sejenisnya dipandang sebagai tindakan yang salah karena itu dapat membuat bawahan kelihatan jelek di mata atasan. 3. Pekerja yakin bahwa mereka tidak tertarik dengan masalah mereka. Manajemen merupakan pengendali, berjalan berdasarkan pikirannya sendiri terlepas dari jangkauan dan pemikiran para karyawan. 4. Pekerja merasa bahwa idenya tidak dihargai. 5. Pekerja yakin bahwa terdapat kekurangan dalam hal kemampuan dan tanggung jawab. 6. Para pekerja percaya bahwa manajer tidak langsung menyelesaikan masalah. Disamping itu kegagalan dalam komunikasi ini jika manajer menerima informasi yang salah dari bawahan, yang disebabkan antara lain: 1. Pekerja tidak mau supervisi mempelajari segala sesuatu secara aktual dan potensial mendiskreditkan pekerja. 2. Pekerja biasa menekankan atau menonjolkan sumbangannya terhadap perusahaan kepada atasan atau persaingannya dengan orang yang di bagian lain dalam organisasi. 3. Kegelisahan pekerja secara pribadi, permusuhan, aspirasi dan sistem kepercayaan hampir selalu membentuk dan mewarnai interpretasi penerimaan mereka terhadap apa yang telah mereka pelajari dan terima untuk disebarkan. 4. Pekerja saling bersaing untuk posisi manajer dan membiarkan para manajer untuk melaksanakan wewenangnya secara profesional dalam organisasi. Tiga faktor yang secara konsisten berhubungan dengan komunikasi upward adalah: 1. Bawahan mempercayai atasan. 2. Persepsi bawahan bahwa atasan sangat mempengaruhi masa depan mereka kelak. 3. Bawahan memobilisasi aspirasi. Semua bawahan akan cenderung untuk mendistorsi komunikasi dari bawah ke atas melalui struktur kewenangan, yang akan menciptakan partisipasi yang lebih besar, kurang sekretif, dan bawahan merasa kurang tergantung pada atasan. Terdapat beberapa faktor yang dapat mengakibatkan munculnya iklim yang kondusif terhadap distorsi, diantaranya: 1. Struktur kewenangan dari organisasi. Wewenang yang lebih fleksibel cenderung akan meningkatkan distorsi komunikasi dari bawah ke atas, nilai dan aturan-aturan yang bertentangan, sekresi, dan ketertutupan supervisi merupakan kondisi yang cenderung menciptakan perasaan gelisah dan tidak aman antar para bawahan. 2. Kondisi persaingan yang kuat antar para bawahan. Persaingan dalam bentuk kalah- menang atau saling bertentangan dapat meningkatkan kegelisahan, ketidaknyamanan yang kemudian melahirkan distorsi. 3. Distorsi komunikasi dari bawah ke atas. Penanganan, pemunculan atau bentuk-bentuk lain dari distorsi informasi yang dilakukan oleh pekerja menimbulkan pengaruh yang berbeda pada bawahan. 4. Kondisi umum dari sinisme dan ketidakpercayaan dalam organisasi. Iklim seperti ini dapat melahirkan perasaan tidak aman yang selanjutnya menjadi distorsi. Konsekuensi untuk menghindari terjadinya distorsi komunikasi maka manajer harus mampu mendorong terjadinya sebuah arus informasi yang bebas dari bawah ke atas dan menyelesaika beberapa hal, misalnya meningkatkan gambaran kerja, masalah-masalah, perencanaan, sikap, dan perasaan dari pekerja. Di samping itu yang harus dilakukan manajer, diantaranya adalah: 1. Mempersiapkan diri dalam segala hal untuk mendengar kabar baik maupun kabar buruk. 2. Keluar dari kantor dan memeriksa bagaimana segala sesuatu berjalan. 3. Mengembangkan seni pendengaran terhadap orang yang tepat. Gerakan informasi ke atas (upward). Tingkatan-tingkatan hirarki organisasional paling sering berbentuk umpan balik pelaksanaan kerja dan dihubungkan dengan fungsi pengawasan. Bentuk-bentuk komunikasinya, antara lain: 1. Kontak tatap muka. 2. Pertemuan kelompok. 3. Prosedur pengaduan. 4. Surat usulan. 5. Pemberian saran. 6. Wawancara. 7. Kebijaksanaan pintu terbuka. 8. Serikat sekerja. 2. Arus Komunikasi Horisontal Komunikasi horizontal Mencakup seluruh penyampaian informasi yang mengalir secara lateral dalam suatu organisasi. Transmisi ini dapat dikelompokkan: 1. Diantara para karyawan dalam kelompok kerja yang sama. 2. Diantara kelompok-kelompok yang mempunyai kedudukan (status) sederajat atau antar departemen. Komunikasi ini merupakan arus pengiriman dan penerimaan pesan yang terjadi antar pimpinan/supervisi maupun antar bawahan/pekerja. Hasil dari beberapa studi mengungkapkan bahwa sekitar 2/3 dari organisai yang ada menggunakan arus komunikasi ini. Komunikasi horisontal dikenal sebagai komunikasi lateral atau silang dan merupakan arus dan pemahaman yang paling kuat dalam komunikasi. Komunikasi ini berfokus pada koordinasi tugas, penyelesaian masalah, pembagian informasi, dan resolusi konflik. Banyak pesan akan mengalir pada semua lini/garis tanpa melalui penyaringan. Komunikasi horisontal sangat penting bagi pekerja pada tingkat bawah untuk selalu berkomunikasi antara supervisi/atasan maupun antara bawahan. 3. Arus Komunikasi Interline Merupakan tindak komunikasi untuk berbagi informasi melewati batas-batas fungsional, spesialis staf biasanya paling aktif dalam komunikasi lintas saluran ini karena biasanya tanggungjawab mereka berhubungan dengan jabatan fungsional. Karena terdapat banyak komunikasi lintas saluran yang dilakukan spesialis staf dan orang-orang lainnya yang perlu berhubungan dalam rantai-rantai perintah lain diperlukan kebijakan organisasi untuk membimbing komunikasi lintas saluran. Jenis komunikasi internal, Komunikasi internal meliputi berbagai cara yang dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yakni: a. Komunikasi persona (personal communication), Komunikasi persona ialah komunikasi antara dua orang dan dapat berlangsung dengan cara tatap muka dan bermedia. b. Komunikasi kelompok (group communication), Komunikasi kelompok adalah komunikasi antara seseorang dengan kelompok orang dalam situasi tatap muka. Seperti halnya dengan komunikasi antarpesona, yang dimaksudkan dengan komunikasi kelompok di sini adalah komunikasi secara tatap muka, seperti komunikasi yang terjadi dalam rapat, briving, brainstorming, dan upacara bendera. Komunikasi formal merupakan bentuk komunikasi dalam jalur organisasi formal, memiliki wewenang dan tanggung jawab yaitu melalui instruksi-instruksi bentuk lisan dan tertulis sesuai dengan prosedur secara fungsional yang berlaku. Arus komunikasi formal adalah komunikasi dari atasan kepada bawahan (downward communication), dari bawahan kepada atasan (upward communication), antara teman sekerja (horizontal communications), atau diantara para atasan maupun diantara bawahan dalam unit yang berada dalam organisasi (cross channel communication). B. Komunikasi Eksternal Menurut Effendy (2009), Komunikasi eksternal adalah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan khalayak di luar organisasi. Pada instansi–instansi pemerintah seperti departemen, direktorat, jawatan, dan pada perusahaan–perusahaan besar, disebabkan oleh luasnya ruang lingkup, komunikasi lebih banyak dilakukan oleh kepala hubungan masyarakat (public relations officer) daripada oleh pimpinan sendiri. Yang dilakukan oleh pimpinan sendiri adalah terbatas pada hal–hal yang dianggap sangat penting, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, umpamanya perundingan (negotiation) menyangkut kebijakan organisasi. Yang lainnya dilakukan oleh kepala humas (PR) yang dalam kegiatan komunikasi eksternal merupakan tangan kanan pimpinan. Komunikasi eksternal adalah mereka yang berada di luar perusahaan namun berkepentingan terhadap perusahaan, antara lain: Pelanggan, Media Massa, Mitra Usaha, Pemasok, Distributor, Pemerintah, Masyarakat sekitar perusahaan (Komunitas), Perbankan, Retailer, Pembentuk Opini (Opinion Leaders), Calon Pelanggan, Konsumen Potensial, Pesaing, Asosiasi perusahaan-perusahaan sejenis, Organisasi Perburuhan, Masyarakat Umum dan lain-lain. Komunikasi eksternal terdiri dari jalur secara timbal balik: a. Komunikasi dari organisasi kepada khalayak. Komunikasi ini dilaksanakan umumnya bersifat informatif, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak merasa memiliki keterlibatan, setidaknya ada hubungan batin. Komunikasi ini dapat melalui berbagai bentuk, seperti: majalah organisasi, press release, artikel surat kabar atau majalah, pidato radio, film dokumenter, brosur, leaflet, poster, konferensi pers. b. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi merupakan umpan balik sebagai efek dari kegiatan dan komunikasi yang dilakukan oleh organisasi. Komunikasi eksternal terdapat dua jalur secara timbal balik, yakni komunikasi dari organisasi kepada khalayak dan dari khalayak kepada organisasi. a. Komunikasi dari organisasi kepada khalayak Komunikasi dari organisasi kepada khalayak, pada umumnya bersifat informatif, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak merasa memiliki keterlibatan, setidak– tidaknya ada hubungan batin. Kegiatan ini sangat penting dalam usaha memecahkan suatu masalah jika terjadi tanpa diduga. Komunikasi dari organisasi kepada khalayak dapat melalui berbagai bentuk seperti: 1. Majalah organisasi. 2. Press release. 3. Artikel surat kabar atau majalah. 4. Pidato radio. 5. Pidato televisi. 6. Film dokumenter. 7. Brosur. 8. Leaflet. 9. Poster. 10.Konferensi pers. b. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi Komunikasi dari khalayak kepada organisasi merupakan umpan balik sebagai efek dari kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh organisasi. Jika informasi yang disebarkan kepada khalayak itu menimbulkan efek yang sifatnya controversial (menyebabkan adanya yang pro dan kontra di kalangan khalayak), maka ini disebut opini publik (public opinion). Komunikasi yang efektif dapat dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Kerangka Acuan (frame of reference) Wilburn Schram (Effendy, 2009) menyatakan sebagai berikut: “komunikasi akan berhasil, apabila pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni perpaduan pengalaman dan pengertian (collection of experience and meaning) yang pernah diperoleh komunikan”. Frame of reference yang didukung field of experience merupakan faktor yang penting dalam berkomunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator dan pengetahuannya sesuai dengan komunikan, maka komunikasi akan berjalan dengan lancar. 2. Faktor Situasi dan Kondisi Situasi disini adalah situasi komunikasi pada saat komunikan menerima pesan yang kita sampaikan. Situasi ini akan mendukung komunikasi efektif apabila komunikator menyampaikan informasi pada saat komunikan menanti suatu pengumuman. Begitu pula dengan kondisi, akan mempengaruhi serta mendukung efektivitas komunikasi. Seperti kondisi gaduh (noise), yang disebabka lingkunag luar, kondisi gugup yang diderita seorang komunikator dalam menyampaikan pesannya akan turut menentukan keberhasilan jalannya proses komunikasi. 3. Faktor Media Komunikasi Organisasi Media komunikasi merupakan alat untuk membantu lancarnya proses komunikasi. Yang dimaksud media disini adalah surat, memo, nota, brosur, pamphlet, bulletin, majalah. Komunikasi Dalam Bisnis Eksternal Kegiatan bisnis tidak akan berhasil jika tidak ada komunikasi. Komunikasi bisnis dapat dilakukan di dalam perusahaan dan di luar perusahaan. Di dalam perusahaan komunikasi perlu dibina secara baik dengan para karyawan agar mereka lebih yakin dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Jika karyawan tidak yakin, tidak mengenal secara lengkap akan produk yang dihasilkan maka mereka sulit mengkomunikasikan produk tersebut kepada orang lain di luar perusahaan. Kemudian komunikasi internal ini sangat penting untuk menjaga kelancaran jalannya organisasi perusahaan sehingga tidak akan timbul kesalahpahaman antar bagian-bagian, seksi-seksi dalam perusahaan. C. Komunikasi dalam Bisnis Eksternal Komunikasi eksternal dilakukan diluar perusahaan dalam hubungan bisnis dengan stakeholders, seperti dengan klien (konsumen), pemerintah, masyarakat. 1. Komunikasi dengan klien (konsumen) Dengan konsumen perlu dibina komunikasi terus menerus agar konsumen tidak lupa dengan produk perusahaan. Bila konsumen sudah berhasil tertarik satu kali membeli produk tertentu ini belum dikatakan sukses. Dikatakan sukses apabila konsumen tersebut tetap menjadi langganan dan terbentuk pada dirinya suatu sikap untuk loyal menggunakan produk tersebut, artinya suatu sikap dimana seseorang selalu ingin berbelanja suatu barang tertentu saja, tidak mau diganti dengan barang lain. Atau ingin berbelanja pada suatu toko saja karena adanya komunikasi yang baik antara pemilik, pelayan toko dengan konsumennya, seperti servis memuaskan. 2. Komunikasi dengan lembaga pemerintah Bisnis harus memahami peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi dan pemerintah daerah. Perusahaan harus selalu berkomunikasi dengan cara mengisi formulir-formulir yang harus diisi, mematuhi segala kewajiban, memperpanjang surat-surat ijin jika sudah habis masa berlakunya seperti SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan), mendatangi kantor Kotamadya bidang ekonomi guna mendapat ijin-ijin tertentu, ke Kantor Perindustrian, ke Kantor Dinas Perdagangan dan sebagainya. 3. Komunikasi dengan masyarakat Perusahaan hidup ditengah-tengah masyarakat, perusahaan tidak berdiri sendiri antara keduanya harus terjalin suatu kerjasama dan saling berkomunikasi. Misalnya dalam merayakan hari-hari tertentu perusahaan harus mengikuti apa yang berkembang dimasyarakat. Ini merupakan salah satu cara berkomunikasi dengan masyarakat, sehingga hubungan antara perusahaan dengan masyarakat akan tetap terjalin dengan harmonis. BAB III IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI Pengertian Iklim Komunikasi Organisasi Proses Perkembangan Iklim Komunikasi Organisasi Dimensi Iklim Komunikasi Organisasi Persoalan dalam Iklim Komunikasi Perkembangan Iklim Komunikasi dalam Organisasi Kepuasan Komunikasi Organisasi Iklim Organisasi A. Pengertian Iklim Komunikasi Organisasi Iklim Komunikasi Organisasi merupakan salah satu hal yang memegang peranan penting di dalam kehidupan suatu organisasi. Kepuasan komunikasi organisasi juga merupakan salah satu hal yang harus menjadi perhatian utama pihak organisasi, karena kepuasan komunikasi organisasi mempengaruhi perilaku orang-orang yang berada di dalam organisasi tersebut. sehingga nantinya organisasi dapat mengambil tindakan yang paling tepat untuk mengembangkan organisasi. Iklim organisasi merupakan sebuah lingkungan dimana para karyawan dalam suatu organisasi melakukan pekerjaan mereka (rutinitas). Iklim mengitari dan mempengaruhi segala hal yang bekerja dalam organisasi sehingga iklim dikatakan sebagai suatu konsep yang dinamis. Iklim adalah sebuah konsep dinamis yang mempengaruhi keseluruhan organisasi di dalam lingkungan tempat organisasi itu beraktivitas dalam rangka pencapaian tujuan. Iklim organisasi juga merupakan serangkaian keadaan lingkungan yang dirasakan secara langsung dan tidak langsung oleh karyawan. Hal ini menggambarkan bahwa iklim organisasi sebagai beberapa keadaan atau kondisi dalam satu rangkaian yang secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, dapat mempengaruhi karyawan. Iklim komunikasi di dalam sebuah organisasi itu penting karena secara tidak langsung iklim komunikasi organisasi dapat mempengaruhi cara hidup orang-orang di dalam sebuah organisasi: kepada siapa orang-orang berbicara, siapa saja yang disukai, bagaimana perasaan masing-masing orang, bagaimana kegiatan kerja berlangsung dan bagaimana perkembangan orang-orang di dalam organisasi (Pace dan Faules, 2002). Menurut Redding, yang dikutip oleh Pace dan Faules menyatakan bahwa ”iklim komunikasi organisasi jauh lebih penting daripada keterampilan atau teknik-teknik komunikasi semata-mata dalam menciptakan suatu organisasi yang efektif (Pace dan Faules, 2002). Dari sini dapat dilihat bahwa iklim komunikasi di dalam sebuah organisasi itu perlu untuk diperhatikan agar dapat menciptakan sebuah organisasi yang efektif. Menurut Pace dan Faules menegaskan bahwa iklim komunikasi tertentu memberi pedoman bagi keputusan dan perilaku individu. Keputusan-keputusan yang diambil oleh anggota organisasi untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, untuk mengikatkan diri mereka dengan organisasi, untuk bersikap jujur dalam bekerja, untuk meraih kesempatan dalam organisasi secara bersemangat, untuk mendukung para rekan dan anggota organisasi lainnya, untuk melaksanakan tugas secara kreatif, dan untuk menawarkan gagasan-gagasan inovatif bagi penyempurnaan organisasi dan operasinya, semua ini dipengaruhi oleh iklim komunikasi. Iklim yang negatif dapat benar-benar merusak yang dibuat anggota organisasi mengenai bagaimana mereka akan bekerja dan berpartisipasi untuk organisasi (Pace dan Faules, 2002). Iklim komunikasi yang penuh rasa persaudaraan mendorong para anggota organisasi untuk berkomunikasi sercara terbuka, rileks, ramah dengan anggota yang lain. Sedangkan iklim komunikasi yang negatif menjadikan anggota tidak berani berkomunikasi secara terbuka dan penuh rasa persaudaraan (Muhammad, 2009). Jadi, iklim komunikasi memainkan peranan sentral dalam mendorong anggota organisasi untuk mencurahkan usaha kepada pekerjaan mereka dalam organisasi. (Pace dan Faules, 2002). Dari sini dapat dikatakan bahwa iklim komunikasi organisasi memiliki pengaruh yang cukup penting bagi motivasi kerja dan masa kerja pegawai dalam organisasi. Iklim komunikasi yang positif cenderung meningkatkan dan mendukung komitmen pada organisasi dan iklim komunikasi yang kuat seringkali menghasilkan praktik-praktik pengelolaan dan pedoman organisasi yang lebih mendukung (Pace dan Faules, 2002). Menurut Tagiuri, Iklim Komunikasi Organisasi adalah kualitas yang relatif abadi dari lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggota-anggotanya, mempengaruhi tingkah laku mereka serta dapat diuraikan dalam istilah nilai-nilai suatu set karakteristik tertentu dari lingkungan. (Soemirat, Ardianto, Suminar, 1999). Menurut Dennis iklim komunikasi organisasi sebagai kualitas pengalaman yang bersifat objektif mengenai lingkungan internal organisasi, yang mencakup persepsi anggota organisasi terhadap pesan dan hubungan pesan dengan kejadian yang terjadi di dalam organisasi (Soemirat, Ardianto, Suminar, 1999). Menurut Muhammad (2009) mengemukakan iklim komunikasi sebagai kualitas pengalaman yang bersifat objektif mengenai lingkungan internal organisasi yang mencakup persepsi anggota organisasi terhadap pesan dan hubungan pesan dengan kejadian yang terjadi di dalam organisasi. Yang menjadi pokok persoalan utama dari iklim komunikasi adalah: 1. Persepsi mengenai sumber komunikasi dan hubungannya dalam organisasi. 2. Persepsi mengenai tersedianya informasi bagi anggota organisasi. 3. Persepsi mengenai organisasi itu sendiri. Iklim komunikasi organisasi merupakan fungsi kegiatan yang terdapat dalam organisasi untuk menunjukkan kepada anggota organisasi bahwa organisasi memberi kepercayaan dan mendorong, memberi kebebasan dalam mengambil resiko, memberi tanggung jawab dan mengerjakan tugas-tugas, menyediakan informasi yang cukup mendalam terbuka dan cukup tentang organisasi, secara aktif memberi penyuluhan kepada anggota sehingga ada keterlibatan penting bagi keputusan-keputusan dalam organisasi, dan menaruh perhatian pada pekerjaan yang bermutu tinggi dan memberi tantangan Iklim komunikasi tertentu memberi pedoman bagi keputusan dan perilaku individu. Keputusan-keputusan yang diambil oleh anggota organisasi untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, untuk mengikatkan diri mereka dengan organisasi. Untuk bersikap jujur dalam bekerja, untuk meraih kesempatan dalam organisasi secara bersemangat, untuk mendukung para rekan dan anggota organisasi lainnya, untuk melaksanakan tugas secara kreatif, dan untuk menawarkan gagasan-gagasan inovatif bagi penyempurnaan organisasi dan operasinya, semua ini dipengaruhi oleh iklim komunikasi. Iklim yang negatif dapat benar-benar merusak keputusan yang dibuat mengenai bagaimana anggota bekerja dan berpartisipasi untuk organisasi (Pace dan Faules, 2002). Menurut Pace dan Faules (2002), pemahaman mengenai kecukupan informasi memberikan petunjuk kepada para anggota organisasi mengenai aspek-aspek organisasi yang merupakan salah satu bagian dari iklim komunikasi organisasi. Menurut Falcione (Pace dan Faules 2002) menyatakan bahwa “iklim komunikasi merupakan suatu citra makro, abstrak dan gabungan dari suatu fenomena global yang disebut komunikasi organisasi. Iklim berkembang dari interaksi antara sifat-sifat suatu organisasi dan persepsi individu atas sifat-sifat itu. Iklim dipandang sebagai suatu kualitas pengalaman subjektif yang berasal dari persepsi atas karakter-karakter yang relatif langgeng pada organisasi”. Iklim dipandang sebagai suatu kualitas pengalaman subjektif yang berasal dari persepsi atas karakter-karakter yang relatif langgeng pada organisasi”. Untuk menganalisis iklim komunikasi di suatu organisasi, (Pace dan Faules, 2002) mengemukakan enam faktor besar yang bisa digunakan untuk menganalisis masalah tersebut, yaitu: 1. Kepercayaan, personel di semua tingkat harus berusaha keras untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang didalamnya kepercayaan, keyakinan, dan kredibilitas didukung oleh pernyataan dan tindakan. 2. Pembuatan keputusan bersama, para pegawai disemua tingkat dalam organisasi harus diajak berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai semua masalah dalam semua wilayah kebijakan organisasi, yang relevan dengan kedudukan mereka. Para pegawai disemua tingkat harus diberikan kesempatan berkomunikasi dan berkonsultasi dengan manajemen diatas mereka agar berperan serta dalam proses pembuatan keputusan dan penentuan tujuan. 3. Kejujuran, suasana umum yang diliputi kejujuran dan keterusterangan harus mewarnai hubungan-hubungan dalam organisasi, dan para pegawai mampu mengatakan apa yang ada dalam pikiran mereka tanpa mengindahkan apakah mereka berbicara kepada teman sejawat, bawahan atau atasan. 4. Keterbukaan dalam komunikasi ke bawah, kecuali untuk keperluan informasi rahasia, anggota organisasi harus relatif mudah memperoleh informasi yang berhubungan langsung dengan tugas mereka saat itu, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengkoordinasikan pekerjaan mereka dengan orang-orang atau bagian-bagian lainnya, dan yang berhubungan luas dengan perusahaan, organisasi, para pemimpin, dan rencana-rencana. 5. Mendengarkan dalam komunikasi ke atas, personil disemua tingkat dalam organisasi harus mendengarkan saran-saran atau laporan-laporan masalah yang dikemukakan personel disemua tingkat bawahan dalam organisasi, secara berkesinambungan dan dengan pikiran terbuka. Informasi dari bawahan harus dipandang cukup penting untuk dilaksanakan kecuali ada petunjuk yang berlawanan. 6. Perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi, personel disemua tingkat dalam organisasi harus menunjukkan suatu komitmen terhadap tujuan-tujuan berkinerja tinggi-produktivitas tinggi, kualitas tinggi, biaya rendah demikian pula menunjukkan perhatian besar pada anggota organisasi lainnya. Indikator iklim komunikasi digunakan untuk menilai reaksi-reaksi persepsi anggota organisasi atas informasi-informasi mengenai seluruh aspek organisasi yang relevan dan berguna bagi anggota organisasi. Informasi-informasi dalam iklim komunikasi merangsang seberapa besar komunikasi mampu memotivasi dan merangsang anggota organisasi untuk mendukung tujuan organisasi (Downs dan Hazen, 1977). Iklim komunikasi yang penuh rasa persaudaraan mendorong para anggota organisasi untuk berkomunikasi secara terbuka, rileks, ramah dengan anggota yang lain. Sedangkan iklim komunikasi yang negatif menjadikan anggota tidak berani berkomunikasi secara terbuka dan penuh rasa persaudaraan (Muhammad, 2009). Iklim komunikasi Organisasi merupakan fungsi kegiatan yang: 1. Menunjukkan kepada anggota organisasi bahwa organisasi tersebut mempercayai mereka dan memberi kebebasan dalam mengambil resiko. 2. Mendorong mereka dan memberi mereka tanggung jawab dalam mengerjakan tugas- tugas mereka. 3. Menyediakan informasi yang terbuka dan cukup tentang organisasi. 4. Mendengarkan dengan penuh perhatian serta memperoleh info yang dapat dipercayai dan terus terang dari anggota organisasi. Menurut Pace dan Faules (2002), ada beberapa alasan pentingnya tentang iklim komunikasi: 1. Mengaitkan konteks organisasi dengan konsep-konsep, perasaan-perasaan dan harapan- harapan anggota organisasi. 2. Membantu menjelaskan perilaku anggota organisasi. 3. Dapat memahami lebih baik apa yang mendorong anggota organisasi untuk bersikap dengan cara-cara tertentu. 4. Iklim komunikasi berperan dalam keutuhan suatu budaya dan membimbing perkembangan budaya tersebut. 5. Menjembatani praktik-praktik pengelolaan sumber daya manusia dengan produktivitas. B. Proses Perkembangan Iklim Komunikasi Organisasi Cara dan urutan perkembangan iklim komunikasi dalam organisasi serta identifikasi komponen-komponen yang berperan dapat dijelaskan dalam gambar berikut: C. Dimensi Iklim Komunikasi Organisasi Menurut Redding (Goldhaber,1993) mengemukakan lima dimensi penting dari iklim komunikasi tersebut, yaitu: 1. Supportiveness, atau bawahan mengamati bahwa hubungan komunikasi mereka dengan atasan membantu mereka membangun dan menjaga perasaan diri berharga dan penting. 2. Partsipasi membuat keputusan, semua tingkat harus diberi kesempatan berkomunikasi dan berkonsultasi dengan manajemen di atas mereka agar berperan serta dalam proses pembuatan keputusan dan penentuan tujuan. 3. Kepercayaan, dapat dipercaya dan dapat menyimpan rahasia. Menemukan bahwa makin tinggi kepercayaan cenderung motivasi kerja makin tinggi. 4. Keterbukaan dan keterusterangan. Keterbukaan terhadap komunikasi ke bawah dan Mendengarkan dalam komunikasi ke atas. 5. Perhatian pada tujuan-tujuan berkinerja tinggi Personel di semua tingkat dalam organisasi harus menunjukkan suatu komitmen terhadap tujuan-tujuan berkinerja tinggi-produktivitas tinggi, kualitas tinggi, biaya rendah-demikian pula menunjukkan perhatianbesar pada anggota organisasi lainnya. Tingkah laku komunikasi tertentu dari anggota organisasi mengarahkan kepada iklim supporiveness, diantara tingkah laku tersebut adalah sebagai berikut: 1. Deskripsi, anggota organisasi memfokuskan pesan mereka kepada kejadian yang dapat diamati daripada evaluasi secara subjektif atau emosional. 2. Orientasi masalah, anggota organisasi memfokuskan komunikasi mereka kepada pemecahan kesulitan mereka secara bersama. 3. Spontanitas, anggota organisasi berkomunikasi dengan sopan dalam berespons terhadap situasi yang terjadi. 4. Empati, anggota organisasi memperlihatkan perhatian dan pengertian terhadap anggota lainnya. 5. Kesamaan, anggota organisasi memperlakukan anggota yang lain sebagai teman dan tidak menekankan kepada kedudukan dan kekuasaan. 6. Provesionalism, anggota organisasi bersifat fleksibel dan menyesuaikan diri pada situasi komunikasi yang berbeda. D. Persoalan dalam Iklim Komunikasi Pokok persoalan utama dari iklim komunikasi adalah hal-hal berikut: 1. Persepsi mengenai sumber komunikasi dan hubungannya dalam organisasi. a. Apakah anggota organisasi puas dengan atasan, teman bekerja sama dan bawahan sebagai sumber informasi. b. Berapa pentingnya sumber-sumber itu. c. Apakah sumber-sumber tersebut dapat dipercaya. d. Apakah sumber-sumber terbuka terhadap komunikasi. 2. Persepsi mengenai terjadinya informasi bagi anggota organisasi a. Apakah jumlah informasi yang diterima cocok tepat dengan topik-topik penting dari sumber informasi. b. Apakah infomasi itu berguna. c. Apakah balikan informasi dikirimkan kepada sumber yang tepat. 3. Persepsi mengenai organisasi itu sendiri a. Berapa banyaknya anggota yang terlibat dalam pembuatan keputusan yang dipengaruhi mereka. b. Apakah tujuan dan objektif dipahami. c. Apakah orang diberi sokongan dan dihargai. d. Apakah sistem terbuka terhadap input dari anggotanya. Menurut Pace dan Faules (2002) menyebutkan iklim komunikasi dapat menjadi salah satu pengaruh yang paling penting dalam produktivitas organisasi, karena iklim mempengaruhi usaha secara fisik dalam bentuk mengangkat, berbicara, atau berjalan, penggunaan pikiran mental dalam bentuk berpikir, menganalisis dan memecahkan masalah. Proses-proses interaksi yang terlibat dalam perkembangan iklim komunikasi memberi andil pada beberapa pengaruh penting dalam restrukturisasi, reorganisasi, dan dalam menghidupkan kembali unsur-unsur dasar organisasi. Iklim komunikasi yang kuat dan positif seringkali menghasilkan praktik-praktik pengelolaan dan pedoman organisasi yang lebih mendukung. Penggunaan mekanisme untuk meningkatkan iklim, kenyataannya tidak sekedar mempengaruhi iklim, melainkan menyebabkan perubahan mendasar yang lebih banyak dalam proses-proses mendasar yang membentuk bahan dan substansi organisasi. Sebaliknya, sebagai suatu fenomena interaktif perubahan-perubahan dalam suatu sistem kerja organisasi dapat berpengaruh positif pada persepsi atas iklim komunikasi dalam suatu organisasi. Misalnya pelaksanaan program pelatihan, tim-tim kerja, program-program monitoring dapat mempengaruhi persepsi mengenai bagaimana organisasi menunjukkan, kepercayaan, kejujuran. Dapat disimpulkan bahwa iklim komunikasi dalam organisasi mempunyai konsekuensi penting bagi pergantian dan masa kerja anggota dalam organisasi. Iklim komunikasi yang positif cenderung meningkatkan dan mendukung komitmen dalam organisasi (Pace dan Faules, 2002). Keefektifan komunikasi dalam organisasi sangat penting bagi kelancaran dan keefektifan proses-proses organisasi secara keseluruhan. Upaya pengefektifan komunikasi perlu memperhatikan berbagai faktor yang terkait yang sering memunculkan hambatan- hambatan yang menyebabkan komunikasi organisasi terhambat. Hambatan-hambatan komunikasi pada dasarnya disebabkan faktor personal dan faktor organisasi dan proses komunikasi itu sendiri Faktor-faktor penghambat komunikasi (barriers) meliputi persepsi, bahasa, tata bahasa, (sematic) cara penyampaian (infections), daya tarik personal, emosi, pemahaman (preconceived notion), perhatian, penyusuanan kata (wordiness), dan asumsi (inferences) (Lionberger dan Gwin, 1982). Sejalan dengan pendapat diatas, Lionberger dan Gwin (1982) menjelaskan beberapa hambatan dalam komunikasi interpersonal meliputi: perbedaan persepsi, penggunaan bahasa yang abstrak, penggunaan kata-kata emosional, dominasi sumber, rendahnya kredibilitas sumber dan dominasi kepentingan sumber. Hambatan sosio-antropsikologis, hambatan semantic, hambatan mekanis, dan hambatan ekologis. Sumber: Hambatan komunikasi dalam organisasi terjadi diantara individu baik dalam hal formal maupun informal pada setiap pola komunikasi. Hambatan komunikasi ini dapat terjadi karena adanya perbedaan kerangka acu dan komunikan (Muhammad, 2009) proses komunikasi berbeda dalam menafsirkan makna. E. Perkembangan Iklim Komunikasi dalam Organisasi Persepsi atas kondisi-kondisi kerja, penyeliaan, upah, kenaikan pangkat, hubungan dengan rekan-rekan, hukum-hukum dan peraturan organisasi, praktik-praktik pengambilan eputusan, sumber daya yang tersedia dan cara-cara memotivasi kerja anggota organisasi semuanya membentuk suatu badan informasi yang membangun iklim komunikasi organisasi. Unsur-unsur dalam organisasi tidak secara langsung menciptakan iklim komunikasi organisasi, tetapi pengaruhnya terhadap iklim komunikasi organisasi tergantung pada persepsi anggota organisasi mengenai nilai dan hukum dan peraturan tersebut. Jadi dengan kata lain, unsur-unsur yang terdapat di dalam organisasi tidak secara otomatis menciptakan iklim komunikasi organisasi tetapi tergantung kepada persepsi anggota-anggota organisasi mengenai unsur-unsur organisasi tersebut. F. Kepuasan Komunikasi Organisasi Kepuasan atas komunikasi kadang-kadang dikacaukan dengan iklim komunikasi, alasannya adalah bahwa iklim, merupakan fungsi dari bagaimana kepuasan anggota terhadap komunikasi dalam organisasi. Kepuasan menggambarkan suatu konsep individu dan konsep mikro sedangkan iklim merupakan konsep makro dan konsep gabungan. Kepuasan juga menggambarkan evaluasi atas suat keadaan internal afektif, sedangkan iklim merupakan deskripsi kondisi eksternal bagi individu. Iklim terdiri dari suatu citra gabungan entitas atau fenomena global, seperti komunikasi atau organisasi. Kepuasan menggambarkan reaksi afektif individu atau hasil-hasil yang dinginkan yang berasal dari komunikasi yang terjadi dalam organisasi. Istilah kepuasan komunikasi digunakan untuk menyatakan keseluruhan tingkat kepuasan yang di rasakan pegawai dalam lingkungan awal komunikasinya. Meskipun komunikasi terlihat tumpang tindih dengan iklim komunikasi.Kepuasan komunikasi ini cenderung memperkaya gagasan iklim dengan menyoroti tingkat individu dan pribadi. Analisis Down dan Hazen (1977) mengidentifikasikan bahwa kepuasan komunikasi terdiri dari delapan dimensi, yakni: 1. Sejauh mana komunikasi dalam organisasi memotivasi dan merangsang para pegawai untuk memenuhi tujuan organisasi dan untuk berpihak kepada organisasi. 2. Sejauh mana penyelia terbuka pada gagasan, mau mendengarkan dan menawarkan bimbingan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pekerjaan. 3. Sejauh mana para individu menerima informasi tentang lingkungan kerja saat itu. 4. Sejauh mana pertemuan-pertemuan diatur dengan baik, pengarahan tertulis singkat dan jelas, dan jumlah komunikasi dalam organisasi cukup. 5. Sejauh mana terjadinya desas-desus dan komunikasi horizontal yang cermat dan mengalir bebas. 6. Sejauh mana informasi tentang organisasi sebagai suatu keseluruhan memadai. 7. Sejauh mana para bawahan responsive terhadap komunikasi kebawah dan memperkirakan kebutuhan penyelia. 8. Sejauh mana pegawai merasa bahwa mereka mengetahui bagaimana mereka dinilai dan bagaimana keinerja mereka dihapus. “Kepuasan atas komunikasi” kadang-kadang dikacaukan dengan “iklim komunikasi”. Alasannya adalah bahwa iklim, tampaknya merupakan fungsi dari bagaimana kepuasan anggota terhadap komunikasi dalam organisasi. Kepuasan menggambarkan suatu konsep individu dan konsep mikro sedangkan iklim merupakan konsep makro dan konsep gabungan. Tabel Dimensi Kepuasan dan Iklim Komunikasi KEPUASAN KOMUNIKASI IKLIM KOMUNIKASI 1. Infomasi yang berkaitan dengan pekerjaan 2. Kecukupan informasi 3. Kemampuan untuk menyarankan perbaikan 4. Efisiensi berbagai saluran komunikasi ke bawah 5. Kualitas Media 6. Cara sejawat berkomunikasi 7. Informasi tentang organisasi secara keseluruhan 8. Integrasi 1. Kepercayaan 2. Pembuatan Keputusan Partisipatif 3. Kejujuran 4. Keterbukaan dalam komunikasi 5. Mendengarkan dalam komunikasi ke atas 6. Memikirkan tujuan-tujuan berkinerja tinggi G. Iklim Organisasi Menurut Davis (1996), Organisasi yang baik adalah organisasi yang memiliki iklim yang didukung oleh kepribadian karyawan yang baik dan persepsi mereka terhadap prosedur organisasi. Selanjutnya Liliweri (1997) berpendapat bahwa iklim organisasi memiliki beberapa sub variabel yang antara lain praktik pengawasan, kohesi kelompok, variasi filosofi manajer, dan pribadi anggota/karyawan yang saling melengkapi. Menurut Stinger (Wirawan, 2007) mendefinisikan bahwa iklim organisasi sebagai koleksi dan pola lingkungan yang menentukan munculnya motivasi serta berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dinilai, sehingga mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja anggota organisasi. Menurut Tagiuri dan Litwin (Wirawan 2007) Iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi. Menurut Stinger (Wirawan, 2007) mendefinisikan bahwa iklim organisasi sebagai koleksi dan pola lingkungan yang menentukan munculnya motivasi serta berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dinilai, sehingga mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja anggota organisasi. Iklim organisasi adalah lingkungan manusia dimana para pegawai organisasi melakukan pekerjaannya. Iklim organisasi tidak dapat dilihat atau disentuh tetapi iklim ada seperti udara dalam suatu ruangan mengitari dan mempengaruhi segala hal yang terjadi dalam suatu organisasi (Davis 1996). Menurut Pace dan Faules (2002), unsur-unsur dasar organisasi (anggota, pekerjaan, praktik-praktik yang berhubungan dengan pengelolaan, struktur dan pedomanan) dipahami secara selektif untuk menciptakan evaluasi dan reaksi yang menunjukkan apakah yang dimaksud oleh setiap unsur dasar tersebut dan seberapa baik unsur-unsur ini beroperasi bagi kebaikan anggota organisasi. Misalnya, informasi yang cukup merupakan sebuah indikasi untuk para anggota organisasi mengenai seberapa baik unsur-unsur dasar organisasi itu berfungsi bersama-sama untuk menyediakan informasi bagi mereka. Iklim organisasi penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diberikan oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi penentuan tingkah laku anggota selanjutnya. Iklim ditentukan oleh seberapa baik anggota diarahkan, dibangun dan dihargai oleh organisasi. Batasan pengertian iklim organisasi itu bisa dilihat dalam dimensi iklim organisasi. Menurut Robert Stringer (Wirawan, 2007) berpendapat bahwa karakteristik atau dimensi iklim organisasi mempengaruhi motivasi anggota organisasi untuk berperilaku tertentu. Oleh karena itu, iklim organisasi dapat dilukiskan dan di ukur dalam pengertian tersebut. Ia mengatakan bahwa untuk mengukur iklim organisasi terdapat enam dimensi yang diperlukan, yaitu: 1. Struktur (structure), organisasi merefleksikan diorganisasikan secara baik dan mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas dalam lingkungan organisasi. Stuktur tinggi jika anggota organisasi pekerjaan mereka didefinisikan secara baik. Struktur rendah jika mereka merasa tidak ada kejelasan mengenai siapa yang melakukan tugas dan mempunyai kewenangan mengambil keputusan. 2. Standar-standar (standards), dalarn suatu organisasi mengukur tekanan untuk meningkatkan kinerja dan derajat kebanggan yang dimiliki oleh anggota organisasi dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Standar-standar tinggi artinya anggota organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerja Standar-standar rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja. 3. Tanggung jawab (responbility), merefleksikan pemsaan karyawan bahwa mereka menjadi "bos diri sendiri" dan tidak memerlukan keputusannya dilegitimasi oleh anggota organisasi lainnya. Persepsi tanggung jawab tinggi menunjukkan bahwa anggota organisasi merasa didorong untuk memecahkan masalahnya sendiri. Tanggung jawab rendah menunjukan bahwa pengambilan risiko dan percobaan terhadap pendekatan baru tidak diharapkan. 4. Penghargaan (recognition), mengindikasikan bahwa anggota organisasi merasa dihargai jika mereka dapat menyelesaikan tugas secara baik. Penghargaan merupakan ukuran penghargaan dihadapkan dengan kritik dan hukuman atas penyelesaian pekerjaan. Iklim organisasi yang menghargai kinerja berkarakteristik keseimbangan antara imbalan dan kritik. Penghargaan rendah artinya penyelesaian pekerjaan dengan baik diberi imbalan secara tidak konsisten. 5. Dukungan (support), merefleksikan percaya dan saling mendukung yang terus berlangsung diantara anggota kelompok kerja. Dukungan tinggi jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bagian tim yang berfungsi dengan baik dan merasa memperoleh bantuan dari atasannya, jika mengalami kesulitan dalan menjalankan tugas. Jika dukungan rendah, anggota organisasi merasa terisolasi atau tersisih sendiri. 6. Komitnen (commitment), merefleksikan bangga anggota terhadap organisasinya dan derajat keloyalan terhadap pencapaian tujuan organisasi. perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Level rendah komitmen artinya karyawan merasa apatis terhadap organisasi dan tujuannya. Menurut Pines (Kusnan, 2004), iklim sebuah organisasi dapat diukur melalui empat dimensi sebagai berikut: 1. Dimensi Psikologikal, yaitu variabel seperti beban kerja kurang otonomi, kurang pemenuhan sendiri dan kurang inovasi. 2. Dimensi struktural, yaitu variabel seperti fisik, bunyi dan tingkat keserasian antara keperluan kerja dan strukttu fisik. 3. Dimensi Sosial, yaitu meliputi aspek interaksi dengan klien (dari segi kuantitas dan ciri- ciri permasalahannya), rekan sejawat (tingkat dukungan dan kerjasama), dan penyelia- penyelia (dukungan dan imbalan). 4. Dimensi birokratik, yaitu meliputi undang-undang dan peraturan-peraturan, konflik peran dan kekaburan peran. Menurut Litwin dan stringer (Amstrong, 2000) mengemukakan delapan dimensi dalam iklim organisasi, yaitu: 1. Structure (struktur), Berkaitan mengenai tekanan dan kebebasan dalam berperilaku serta derajat formalitas dan informalitas yang ada dalam lingkungan kerja. 2. Responsibility (tanggung jawab), Berkaitan dengan adanya kepercayaan ketika terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan penting. 3. Risk (resiko), Berkaitan dengan pemsaan mengenai resiko dan tantangan dalam bekerja dan dalam organisasi. Dimana karyawan diberi ruang untuk melakukan atau mengambil resiko dalam tugas sebagai sebuah tantangan. 4. Warm (kehangatan), Adanya kehangatan atau keramahan dalam kelompok sosial informal. 5. Support (dukungan), Perasaan yang berkaitan dengan pemberian dukungan baik dari atasan maupun rekan kerja. 6. Standarts (standar), Berkaitan dengan perasaan karyawan tentang kondisi organisasi dimana manajemen memberikan perhatian terhadap pelaksanaan tugas dengan baik, tujuan yang telatr ditentukan serta toleransi terhadap kesalahan atau hal-hal yang kurang sesuai atau kurang baik. 7. Conflict (konflik), Berkaitan dengan perasaat mengenai keterbukaan dari atasan maupun rekan kerja terhadap perbedaan pendapat dan dalam mengatasi masalah. Dimana permasalahan-permasalahan yang muncul akan diselesaikan secara terbuka daripada dibiarkan menguap begitu saja tanpa ada penyelesaian yang jelas. 8. Identity (identitas), Berkaitan dengan perasaan karyawan mengenai keberadaannya dalam perusahaan. Dimana karyawan adalah bagian dari perusahaan dan mereka bangga dengan keberadaannya. Menurut Higgins (Wirawan, 2007) ada empat prinsip faktor-faktor yang mempengaruhi iklim, yaitu: 1. Manajer/pimpinan, Pada dasarnya setiap tindakan yang diambil oleh pimpinan atau manajer mempengaruhi iklim dalam beberapa hal, seperti aturan-aturan, kebijakan- kebijakan, dan prosedur-prosedur organisasi terutama masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah personalia, distribusi imbalan, gaya komunikasi, cara- cara yang digunakan untuk memotivasi, teknik-teknik dan tindakan pendisiplinan, interaksi antara manajemen dan kelompok, interaksi antar kelompok, perhatian pada permasalahan yang dimiliki karyawan dari waktu ke waktu, serta kebutuhan akan kepuasan dan kesejahteraan karyawan. 2. Tingkah laku karyawan, Tingkah laku karyawan mempengaruhi iklim melalui kepribadian mereka, terutama kebutuhan mereka dan tindakan-tindakan yang mereka lakukan untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Komunikasi karyawan memainkan bagian penting dalam membentuk iklim. Cara seseorang berkomunikasi menentukan tingkat sukses atau gagalnya hubungan antar manusia. Berdasarkan gaya normal seseorang dalam hidup atau mengatur sesuatu, dapat menambahnya menjadi iklim yang positif atau dapat juga menguranginya menjadi negatif. 3. Tingkah laku kelompok kerja, Terdapat kebutuhan tertentu pada kebanyakan orang dalam hal hubungan persahabatan, suatu kebutuhan yang seringkali dipuaskan oleh kelompok dalam organisasi. Kelompok-kelompok berkembang dalam organisasi dengan dua cara, yaitu: secara formal, utamanya pada kelompok kerja dan informal, sebagai kelompok persahabatan atau kesamaan minat. 4. Faktor eksternal organisasi, Sejumlah faktor eksternal organisasi mempengaruhi iklim pada organisasi tersebut. Keadaan ekonomi adalah faktor utama yang mempengaruhi iklim. Contohnya dalam perekonomian dengan inflasi yang tinggi, organisasi berada dalam tekanan untuk memberikan peningkatan keuntungan sekurang-kurangnya sama dengan tingkat inflasi. Seandainya pemerintah telah menetapkan aturan tentang pemberian upah dan harga yang dapat membatasi peningkatan keuntungan, karyawan mungkin menjadi tidak senang dan bisa keluar untuk mendapatkan pekerjaan pada perusahaan lain. Di lain pihak, ledakan ekonomi dapat mendorong penjualan dan memungkinkan setiap orang mendapatkan pekerjaan dan peningkatan keuntungan yang besar, sehingga hasilnya iklim menjadi lebih positif. Tabel Sifat-Sifat Kepuasan dan Iklim Organisasi KEPUASAN IKLIM Pekerjaan Kom. Individu Organisasi Kom. Organisasi Tingkat Abstraksi Mikro (kongkret dan mudah ditentukan) Makro (abstrak, gabungan) Tingkat Analisis Individu Kelompok Besar Tingkat Pengaruh Mengevaluasi Menjelaskan Definisi Evaluasi diri atas kondisi afektif internal. Reaksi afektif atas meningkatnya jumlah hasil yang diinginkan orang-orang sebagai hasil pekerjaan mereka dan komunikasi mereka. Penjelasan fenomena yang ekternal bagi individu. Suatu citra gabungan atas entitas atau fenomena global, organisasi, komunikasi. BAB IV BUDAYA ORGANISASI Pengertian Budaya Organisasi Proses Terbentuknya Budaya Organisasi Dimensi Pengukuran Budaya Organisasi Budaya dengan profesionalisme Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan dan berkembang. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan. Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dengan organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh suatu organisasi. Kebiasaan, tradisi, dan cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya di masa lalu. Hal ini mengarah pada sumber tertinggi budaya sebuah organisasi para pendirinya. Suatu organisasi dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, karena pada dasarnya organisasi merupakan bentuk perserikatan dari manusia untuk mencapai tujuan bersama dimana di dalamnya terdapat aktifitas, oleh karena itu organisasi perlu memiliki karyawan yang berkualitas serta mempunyai semangat dan loyalitas yang tinggi. Semangat dan loyalitas yang tinggi dipengaruhi oleh kemampuan pegawainya serta budaya organisasi yang ada, untuk itu perlu adanya peningkatan kemampuan pegawai dan pembentukan budaya organisasi yang baik sesuai dengan kebutuhan karyawan. A. Pengertian Budaya Organisasi Menurut Martin menekankan perbedaan perspektif budaya pada berbagai organisasi adalah saat individu berhubungan dengan organisasi, mereka berhubungan dengan norma berpakaian, cerita orang-orang mengenai apa yang terjadi, aturan dan prosedur formal organisasi, kode perilaku formal, ritual, tugas, sistem gaji, bahasa, dan lelucon yang hanya dimengerti oleh orang dalam, dan sebagainya (Luthan, 2008). Elemen tersebut merupakan beberapa manifestasi budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan keunggulan kompetitif dari organisasi, mendukung dalam menghadapi tantangan perubahan lingkungan organisasi dengan tepat. Kreitner dan Kinicki menyatakan bahwa budaya organisasi dapat menjadi keunggululan kompetitif. Menurut Robbins dan Judge (2008), Budaya organisasi dimaknai sebagai filosofi dasar yang memberikan arahan bagi kebijakan organisasi dalam pengelolaan karyawan, sebuah sistem makna bersama dibentuk oleh para warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Budaya organisasi yang mengatur dan menyatukan nilai-nilai yang berbeda dari setiap anggota organisasi, sehingga tercipta kesamaan arah dan persepsi yang sama dalam bekerja, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya organisasi itulah yang menjadi acuan untuk mengarahkan, mengelola dan mengatur karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Itu sebabnya budaya organisasi tidak dapat terlepas dari individu di dalam suatu organisasi. Menurut Robbins dan Judge (2008) Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif. Menurut Robins dan Judge (2008) Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi. Schein, 2004 mendefinisikan budaya organisasi sebagai wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersenbut rasakan, pikirkan, dan bereaksi terhadap lingkunmgannya yang beraneka ragam. Dari definisi ini, menyoroti tiga karakteristik budaya organisasi yang penting, yaitu: Pertama: budaya organisasi diberikan kepada para karyawan baru melalui proses sosialiasasi. Kedua: budaya organisasi mempengaruhi perilaku di tempat kerja. Ketiga: budaya organisasi berlaku pada tingkat yang berbeda (Kreiner dan Kinicki, 2005). Menurut Robbins dan Judge (2008) Budaya Organisasi dimaknai sebagai filosofi dasar yang memberikan arahan bagi kebijakan organisasi dalam pengelolaan karyawan dan nasabah. Lebih lanjut Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa sebuah sistem makna bersama dibentuk oleh para warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi. Menurut Nawawi (2003) hubungan budaya dengan budaya organisasi, bahwa “budaya organisasi adalah suatu kepercayaan dan nilai-nilai yang menjadi falsafah utama yang dipegang teguh oleh anggota organisasi dalam menjalankan atau mengoperasionalkan kegiatan organisasi”. Sedangkan Nawawi (2003) yang dikutip dari Schemerhom, Hurn dan Osborn, mengatakan “budaya organisasi adalah suatu sistem penyebaran keyakinan dan nilai- nilai yang dikembangkan di dalam suatu organisasi sebagai pedoman perilaku anggotanya”. Menurut Robbins dan Judge (2008) memberi pengertian budaya organisasi antara lain sebagai: 1. Nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi. 2. Falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan. 3. Cara pekerjaan dilakukan di tempat itu. 4. Asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi. Tunstal (Wirawan, 2007) mendefinisikan, budaya organisasi adalah suatu kepercayaan, kebiasaan, nilai, norma perilaku, dan cara melakukan bisnis yang unik bagi setiap organisasi yang mengatur pola aktivitas dan tindakan organisasi, serta melukiskan pola implisit, perilaku, dan emosi yang muncul yang menjadi karakteristik dalam organisasi. Adapun menurut Elridge dan Crombie (Wirawan, 2007) mendefinisikan, suatu budaya organisasi menunjukan konfigurasi unik dari norma, nilai, kepercayaan, dan cara-cara berperilaku yang memberikan karakteristik cara kelompok dan individu bekerja sama untuk menyelesaikan tugasnya. Budaya organisasi merupakan suatu kepercayaan, nilai, norma perilaku yang diterima dan disosialisasikan secara berkesinambungan sebagai pembentuk karakteristik organisasi dalam menghadapi tantangan/adaptasi eksternal dan integrasi internal. Budaya organisasi adalah kebiasaan yang berlaku pada organisasi. Bisa jadi, dengan demikian antara satu organisasi dengan organisasi lainnya mempunyai kebiasaan yang berbeda meski keduanya bergerak pada bidang aktifitas yang sama. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam sebuah organisasi tersebut sesungguhnya berasal dari nilai-nilai organisasi (organizational values). Elemen-elemen yang bersifat behavioral adalah elemen yang muncul kepermukaan dan tampak dalam perilaku sehari-hari para anggota organisasi. Oleh karena itu, bagi orang luar organisasi sering dianggap sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi sebab mudah diamati, dipahami dan diinterpretasikan. Dengan mengamati bagaimana para anggota organisasi berperilaku dan kebiasaan-kebiasaan lain yang mereka lakukan, sebagai bentuk praktek sehari-hari sebuah organisasi atau kebiasaan tersebut muncul dalam bentuk praktek- praktek manajemen, apakah sebuah organisasi berorientasi pada proses atau hasil, karyawan atau pekerjaan, lebih parochial atau profesional, lebih terbuka atau tertutup, kontrol yang longgar atau kontrol yang ketat dan lebih normatif atau pragmatis. Budaya organisasi berdiri sebagai pusat dari seluruh faktor yang berasal dari manajemen sumberdaya manusia. Budaya organisasi dipercaya mempengaruhi setiap individu mengenai hasil seperti komitmen, motivasi, moral dan kepuasan. Menurut Kotter dan Heskett (1992), perusahaan yang berhasil bukan sekedar mempunyai budaya yang kuat akan tetapi budaya yang kuat tersebut harus cocok dengan lingkungannya. Menurut Schein (2004) Proses penciptaan budaya terjadi dalam tiga cara, yaitu: Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Ketiga, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan, dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi. Menurut Robbins dan Judge (2008) ada tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat budaya organisasi, yaitu: 1. Inovasi dan keberanian mengambil risiko, Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko. 2. Perhatian pada hal-hal rinci, Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, diperhatian pada hal-hal detail. 3. Orientasi hasil, Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. 4. Orientasi orang, Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi. 5. Orientasi tim, Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang pada indvidu-individu. 6. Keagresifan, Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai. 7. Stabilitas, Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan. Sementara itu Luthan (2008) berpendapat bahwa karakteristik dari budaya organisasi terdiri dari enam hal. Keenam hal tersebut adalah: 1. Ketentuan perilaku yang terobservasi (bahasa, terminologi dan ritual yang berbeda dengan yang lain). 2. Norma-norma, (berupa standar perilaku termasuk seberapa banyak mereka harus bekerja). 3. Nilai-nilai dominan, (nilai-nilai mayoritas yang harus dianut oleh segenap anggota organisasi, seperti kualitas tinggi, rendah absensi, tinggi efisiensi). 4. Filosofi (kebijakan yang mengutarakan nilai-nilai organisasi tentang bagaimana memperlaku-kan karyawan dan pelanggan). 5. Ketentuan- ketentuan, (petunjuk langsung yang berkaitan dengan bagaimana bergaul di dalam organisasi), 6. Iklim organisasi, yaitu seluruh perasaan yang bersangkutan dengan rancangan fisik, bagaimana anggota berinteraksi, dan bagaimana anggota berhubungan dengan pelanggan dan pihak-pihak lainnya. Menurut Robbins dan Judge (2008), fungsi budaya organisasi adalah sebagai berikut: 1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain. 2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. 3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang. 4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan. 5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. Budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Pengaruh umum dari luar yang luas. 2. Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat (societal values). 3. Faktor-faktor spesifik dari organisasi. 4. Nillai-nilai dari kondisi dominan: a. Pengaruh eksternal yang luas. (Broad external influences). Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikedalikan oleh organisasi, seperti lingkungan alam (adanya empat musim atau iklim tropis) dan kejadian-kejadian bersejarah yang membentuk masyarakat. b. Nilai-nilai budaya dan budaya nasional (soctetal values and national culture). Keyakinan dan nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas (misalnya kebebasan individu, kolektivisme, kesopansantunan, kebersihan, dan sebagainya). c. Unsur-unsur khas dari organisasi (organization specifis elements). Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam usaha mengatasi baik masalah eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Penyelesaian yang merupakan ungakapan dari nilai-nilai dan keyakinan- keyakinan. Keberhasilan mengatasi masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi. Misalnya masalah menghadapi kesulitan usaha, biaya produksi terlalu tinggi, pemasaran biayanya tinggi juga, maka dicari jalan bagaimana penghematan di segala bidang dapat dilakukan. Jika ternyata upayanya berhasil, biaya produksi dapat diturunkan demikian juga biaya pemasaran, maa nilai untuk bekerja hemat (efisien) menjadi nilai utama dalam perusahaan. Dalam sumber budaya yang ketiga di atas, unsure-unsur khas dari organisasi, kita temukan konsep budaya organisasi dari Schein. Menurut Robbins dan Judge (2008), mengatakan bahwa budaya organisasi dalam sebuah perusahaan, meliputi beberapa hal, yakni: 1. Terdapat nilai dominan yang didukung oleh organisasi. 2. Terdapat falsafah yang menuntut kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan. 3. Terdapat cara kerja yang dilakukan di perusahaan itu. 4. Adanya asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat diantara anggota organisasi. Budaya Organisasi pada dasarnya mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk anggota organisasi yang berada dalam hirarki organisasi, misalnya bagi organisasi yang didominasi oleh pendiri, maka budaya organisasi yang ada di dalam organisasi tersebut menjadi wahana untuk mengkomunikasikan harapan-harapan pendiri kepada pekerja lainnya. Jika budaya terbentuk dari norma-norma moral, sosial dan perilaku dari sebuah organisasi yang didasarkan pada keyakinan, tindak-tanduk, dan prioritas anggota-anggotanya, maka pemimpin secara definitif adalah anggota dan banyak mempengaruhi perilaku-perilaku dengan contoh ketulusan anggota organisasi itu sendiri. Di dalam model manajemen apapun, para pemimpin selalu bertanggung- jawab atas keteladanannya (Robbins dan Judge, 2008). Budaya organisasi mempunyai dua tingkatan yang berbeda yang dapat ditinjau dari sisi kejelasan dan ketahanan terhadap perubahan. Pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, budaya merujuk kepada nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Konsep budaya organisasi telah berkembang, dalam hal ini bukan sekedar jati diri, slogan, atau semangat romantisme belaka (dalam paradigma lama). Lebih dari itu, budaya organisasi (dalam paradigma baru) menurut memiliki 3 hal, yakni: 1. Alat untuk mencapai tujuan pengembangan usaha. 2. Pengembangan sumber daya manusia agar semakin berkualitas. 3. Sebagai andalan daya saing. Budaya Organisasi mampu menjadi faktor kunci keberhasilan organisasi, tetapi dapat pula menjadi faktor utama kegagalan organisasi. Budaya ini berbeda-beda tiap-tiap organisasi ada organisasi yang memiliki budaya yang kuat dan ada organisasi yang memiliki budaya yang lemah. Menurut Robbins dan Judge (2008) kuat lemahnya budaya sebuah organisasi dapat dipantau dengan melihat 3 (tiga) hal yaitu: 1. Arah, apakah nilai-nilai yang hidup searah atau selaras atau mendukung tujuan-tujuan organisasi. 2. Penyebaran, apakah nilai-nilai budaya tersebut dihayati dan dimiliki oleh semua anggota dalam organisasi, atau hanya oleh sekelompok kecil manajer tingkat atas. 3. Intensitas, apakah pengaruh budaya tertentu memberi tekanan (biasanya melalui tekanan kelompok ) yang kuat ada anggota organisasi hingga ditaati atau tidak. Menurut Schein (2004) mengatakan bahwa budaya lemah adalah budaya yang tidak mampu menjalankan fungsi utamanya, yaitu mampu mendukung organisasi dalam beradaptasi dengan faktor-faktor internal dan eksternal. Persoalan internal dan eksternal ini merupakan persoalan yang paling terkait satu sama lain dan biasanya muncul secara bersamaan, oleh karena itu untuk menghadapinya dan untuk menjaga kelangsungan hidup organisasi, maka dalam hal ini Budaya Organisasi merupakan faktor yang signifikan. B. Proses terbentuknya budaya organisasi Proses terbentuknya budaya dalam suatu organisasi, diantaranya: 1. Pemimpin perusahaan merekrut dan mempertahankan hanya karyawan yang memiliki pemikiran serta konsep yang sama dalam bertindak. 2. Mendoktrin serta mensosialisasikan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan cara mereka kepada karyawan terpilih. 3. Pemimpin harus menjadi contoh nyata bagaimana berpikir dan bertindak dalam organisasi sehari-hari. Top management Philopshopy organization’s founders Selection kriteria Organization culture sosialization Bagan terbentuknya budaya organisasi Budaya perusahaan yang terbentuk banyak ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu: 1. Lingkungan usaha: lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk menvapai keberhasilan. 2. Nilai-nilai (values): merupakan konsep dasar dan keyakinan dari suatu organisasi. 3. Panutan/keteladanan: orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan lainnya karena keberhasilannya. 4. Upacara-upacara (rites and ritual): acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan pada karyawannya. 5. Network: jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai dari budaya perusahaan. Menurut Sonnenfeld (Robbins dan Judge, 2008), ada empat tipe budaya organisasi: 1. Akademi, Perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas, memberi mereka pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus. Perusahaan lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah. 2. Kelab, Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Perusahaan juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja sama tim. 3. Tim Bisbol, Perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, perusahaan juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan, perusahaan juga lebih menyukai karyawan yang agresif. Perusahaan cenderung untuk mencari orang- orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan insentif finansial yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi. 4. Benteng, Perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang sudah baik. Menurut Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat dengan rapi dikategorikan dalam salah satu dari empat kategori karena merek memiliki suatu paduan budaya atau karena perusahaan berada dalam masa peralihan. Terdapat empat orientasi budaya organisasi yang terpisah dan bertentangan satu sama lain, yaitu: 1. Orientasi kekuasaan: Budaya ini menekankan kepada bagaimana lingkungan eksternal dikuasai dan ditundukkan dan dicirikan oleh norma-norma, bersaing untuk menjaga wilayah kekuasaannya, berusaha memperluas kekuasaannya dengan merugikan orang lain, membeli dan menjual organisasi dan atau orang seperti barang komoditi, tidak memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan anggota, hukum rimba masih berlaku, mengejar keuntungan pribadi diantara para eksekutif organisasi. 2. Orientasi peran: Budaya organisasi semacam ini sering disebut juga sebagai budaya birokrasi yang merupakan reaksi terhadap budaya yang berorientasi kekuasaan. Orientasi budaya ini ditandai antara lain oleh persaingan dan konflik diatur atau diganti oleh kesepakatan atau perjanjian, adanya peraturan dan prosedur, hak dan kewajiban diberikan dan ditaati secara cermat; keterikatan yang besar pada hierarki/status/kedudukan diubah menjadi keterikatan pada keabsahan kewenangan dan peraturan, kemantapan dan kehormatan sering dinilai setara dengan kemampuan, respons yang benar cenderung lebih dihargai dari pada respons yang efektif, prosedur untuk perubahan cenderung tidak praktis dan lambat untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. 3. Orientasi tugas: Budaya organisasi semacam ini didasarkan kepada asumsi bahwa pencapaian tujuan yang paling tinggi (super ordinate goals) merupakan prioritas utama dan dinilai tinggi. Karena itu, struktur organisasi, fungsi dan kegiatan selalu dinilai berdasarkan signifikansinya terhadap pencapaian tujuan yang gradasinya paling tinggi. Budaya semacam ini antara lain ditandai oleh tidak ada yang boleh menghalangi penyelesaian tugas dalam rangka pencapaian tujuan, mekanisme organisasi (peraturan, struktur, prosedur) yang tidak efektif bagi pemecahan masalah selalu diubah untuk memenuhi kebutuhan akan tugas dan fungsi yang dijalankan, wewenang dianggap sah hanya jika didasarkan pada pengetahuan dan kompetensi yang tepat: tidak ada sifat kompetitif yang melekat pada budaya orientasi tugas, fleksibilitas organisasi sangat tinggi dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan, pencapaian tujuan dan kesamaan nilai-nilai yang dianut selalu menjadi acuan dalam setiap proses kerjasama. 4. Orientasi orang. Orientasi budaya ini didasarkan kepada asumsi bahwa organisasi dipandang atau dinilai sebagai sarana bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak dapat dipenuhi jika dilakukan secara sendiri- sendiri. Karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaannya dibentuk secara khusus untuk orang-orang dengan motif dan kebutuhan akan kemandirian yang mampu mengekspresikan dirinya sendiri. Kebutuhan-kebutuhan pribadi biasanya akan terpenuhi dalam organisasi yang orientasi budayanya pada person. C. Dimensi Pengukuran Budaya Organisasi Budaya Organisasi merupakan sebuah “latent-variable” dan sebab itu perlu pengukuran agar ia dapat dianalisis dengan menjadikannya “manifest-variable.” Sebagai sebuah konsep atau variabel, budaya organisasi memiliki sejumlah dimensi yang memungkinkan suatu pengukuran. Dimensi-dimensi ini nantinya akan diperasionalisasikan ke dalam bentuk item-item pertanyaan. Menurut Brown and Don Harvey membagi dimensi budaya organisasi ke dalam enam karakteristik yaitu: 1. Otonomi Individual. Derajat kesempatan, kebebasan, dan rasa tanggung jawab bagi para anggota organisasi untuk melakukan insiatif. 2. Sensitivitas atas kebutuhan pelanggan dan pekerja. Derajat responsivitas pada perubahan kebutuhan. 3. Dukungan. Derajat asistensi dan kehangatan yang ditunjukkan oleh manager atau pimpinan. 4. Minat memiliki pekerja yang menginisiatifkan gagasan baru. Derajat di mana pekerja diberdayakan agar memiliki kualitas dan produktivitas yang lebih baik. 5. Keterbukaan atas saluran komunikasi yang ada. Derajat kebebasan untuk saling berkomunikasi antara pekerja, tim, dan pimpinan. 6. Perilaku resiko. Derajat pada mana para anggota dipancing untuk menjadi agresif, inovatif, dan penantang resiko. Dalam pandangan Schein (2004), budaya organisasional berada pada tiga tingkat, yaitu: 1. Artifacts. 2. Espoused values. 3. Basic underlying assumptions. Pada tingkat artifacts, budaya organisasional memiliki karakteristik bahwa struktur dan proses organisasional dapat terlihat. Pada tingkat berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”. Gambar Tingkatan Budaya Organisasional ARTIFACTS ESPOUSED VALUES BASIC UNDERLYING ASSUMPTIONS Sumber: Schein (2004) Organization Culture and Leadership Pada tingkat ini organisasi dan anggotanya membutuhkan tuntunan strategi (strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bertindak dan berperilaku. Sedangkan pada tingkat basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik untuk melakukan sesuatu secara benar dan cara yang tepat. Kotter dan Hesket (1992), menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi-asumsi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan persepsi-persepsi yang dimiliki para anggota kelompok dalam suatu organisasi yang membentuk dan mempengaruhi sikap dan perilaku kelompok tersebut. Pengembangan tahap-tahap budaya, disebut dimensi budaya dalam organisasi, yaitu: Pertama: Artifak-Artifak (Artifacts). Artifacts adalah “benda-benda” hasil buatan manusia. Kita dapat mengamati suatu budaya dalam artifak yang diciptakannya berupa kata-kata yang digunakan, tindakan para anggota organisasi dan objek yang ada dalam organisasi. Yang dimaksudkan dengan “kata-kata budaya” disini termasuk bahasa khusus atau jargon yang digunakan oleh orang-orang dalam organisasi, kisah-kisah yang diceritakan oleh mereka dan mitos-mitos yang dilestarikan oleh mereka. Yang dimaksudkan dengan “tindakan-tindakan budaya” adalah upacara ritual (ritual and ceremonies) yang diselengarakan dan diikuti oleh mereka, misalnya upacara bendera, rapan rutin harian, expose dan bentuk penyajian lain, pemberian persetujuan rapat pimpinan secara berkala, rapat kerja pimpinan cabang, rapat direksi, upacara pemberian penghargaan, malam silaturahmi, perayaan hari besar, karyawan, dan sebagainya. “objek budaya” di sini termasuk busana yang dikenakan para anggota organisasi, meubel yang digunakan dalam kantor, karya seni yang dipilih dan digunakan oleh para warga organisasi. Dimensi Kedua: Perspectives. Perspektif, berada satu lapisan di bawah permukaan yang kelihatan (artifak-artifak), tetapi masih mudah untuk melihatnya. Yang termasuk ke dalam perspektif adalah berbagai norma sosial dan peraturan yang mengatur bagaimana para warga organisasi harus berperilaku dalam situasi khusus. Dengan adanya berbagai peraturan dan norma tersebut, para anggota organisasi tidak perlu memecahkan permasalahan sosial organisasi secara baru setiap timbul permasalahan. Dimensi Ketiga: Nilai-nilai (Values). Nilai-nilai (Values) berada setingkat lebih dekat dengan inti suatu budaya organisasi. Values mencerminkan falsafah dan misi organisasi, cita- cita organisasi, tujuan, dan standar organisasi. Para anggota organisasi menggunakan nilai- nilai ini untuk menilai (judging) orang-orang, tindakan, dan peluang serta mengambil keputusan atas nama organisasi. Dimensi Keempat: Asumsi-Asumsi (Assumptions). Pada lapisan terdalam, yaitu inti budaya organisasi, terdapatlah kepercayaan para anggota organisasi yang tidak diucapkan tentang mereka sendiri dan mengenai orang lain. Asumsi budaya bersifat take for granted (membenarkan) sehingga pada dasarnya kita harus menjadi bagian dari budaya itu kalau kita mau mengerti. Akan tetapi kesulitannya adalah, sekali kita menjadi bagian dari budaya itu, kita tidak mengenalinya lagi karena unsur budaya organisasi sudah menjadi bagian dari pandangan dunia kita secara otomatis. Menurut Kotter dan Heskett (1992), berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang dilakukannya, mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu budaya kuat dan budaya lemah, budaya yang secara strategis cocok, dan budaya yang adaptif dan tidak adaptif. 1. Budaya kuat dan budaya lemah. Kotter dan Heskett (1992) menyatakan bahwa nilai- nilai, norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, loyalitas, memacu kerja lebih keras, kohesivitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas. Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu: a. Penyatuan tujuan, Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, pegawai cenderung melakukan tindakan ke arah yang sama. b. Menciptakan motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai c. Memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi. 2. Budaya yang secara strategis cocok. Kotter dan Heskett (1992) menjelaskan pentingnya kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan itu berada. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras dengan konteks bisnis dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen industrinya yang dispesifikasikan oleh strategi perusahaan atau strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka semakin baik kinerjanya, sebaliknya semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik dan bersifat satu ukuran untuk semua, dan berfungsi baik dalam organisasi apapun. 3. Perbedaan budaya adaptif dan tidak adaptif dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel Budaya Organisasi yang Adaptif dan Tidak Adaptif Budaya Adaptif Budaya Tidak Adaptif Nilai Inti Kebanyakan manajer sangat peduli akan pelanggan, pemegang saham, dan pegawainya. Mereka juga sangat Kebanyakan manajer memperdulikan terutama diri mereka sendiri, kelompok kerja terdekat mereka, atau beberapa menghargai orang dan proses yang dapat menciptakan perubahan yang bermanfaat (misalnya kepemimpinan ke atas dan ke bawah pada hirarki manajemen) produk (teknologi) yang berhubungan dengan kelompok kerja tersebut. Mereka menilai proses manajemen yang teratur dan kurang resikonya jauh lebih tinggi daripada inisiatif kepemimpinan Perilaku Umum Manajer memberi perhatian yang cermat terhadap semua konstituensi mereka, khususnya pelanggan, memprakarsai perubahan bila dibutuhkan untuk melayani kepentingan mereka yang sah, bahkan walaupun menuntut pengambilan beberapa resiko. Para manajer cenderung berperilaku agak picik, politis, dan birokratis. Akibatnya, mereka tidak cepat mengubah strategi mereka untuk menyesuaikan diri dengan atau mengambil keuntungan dari perubahan-perubahan dalam lingkungan bisnis mereka. Sumber: Kotter dan Heskett, (1992), Corporate Culture and Performance, The Free Press, New York. D. Budaya Dengan Profesionalisme Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison (McKenna, et., al, 2002) membagi empat tipe budaya organisasi: 1. Budaya kekuasaan (Power culture). Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi. Seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelajiman yang masih menganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan terkadang melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya organisasi. 2. Budaya peran (Role culture). Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi. 3. Budaya pendukung (Support culture) Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education). 4. Budaya prestasi (Achievement culture) Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya. BAB V GAYA KEPEMIMPINAN Pengertian Kepemimpinan Karakteristik Kepemimpinan Tanggung Jawab dan Wewenang Kepemimpinan Peranan Kepemimpinan Sifat-Sifat Pemimpin Fungsi Kepemimpinan Gaya Kepemimpinan Tipe Gaya kepemimpinan Sifat – sifat Pemimpin Teori Kepemimpinan Teori Perilaku Teori Situasional A. Pengertian Kepemimpinan Dalam kenyataan para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Untuk mencapai semua itu seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan dan keterampilan kepemimpinan dalam melakukan pengarahan kepada bawahannya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Menurut Yukl, 2010 kepemimpinan berkaitan dengan proses yang disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk membimbing, membuat struktur, memfasilitasi aktivitas dan hubungan di dalam kelompok atau organisasi Sebagai seorang pemimpin harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan kemampuan karena seorang pemimpin mempunyai wewenang untuk memerintah orang lain dan di dalam mengerjakan pekerjaannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan bantuan orang lain. Beberapa pengertian pemimpin menurut para ahli adalah sebagai berikut: Pemimpin adalah merupakan inisiator, motivator, stimulator, dinamisator, dan inovator dalam organisasi (Kartono, 2010). Pemimpin seseorang yang karena kecakapan pribadinya atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinannya untuk mengarahkan upaya bersama kearah pencapaian sasaran–sasaran tertentu (Winardi, 2004). Menurut Terry dan Frankin (Yuli, 2005) menyatakan bahwa pemimpin dengan hubungan dimana seseorang (pemimpin) mempengaruhi orang untuk mau bekerjasama melaksanakan tugas-tugas yang saling berkaitan guna mencapai tujuan yang diinginkan organisasi atau kelompok. Berdasarkan pengertian tersebut dapat didefenisikan kepemimpinan dari sudut pandang perspektif sebagai konsep manajemen dapat dirumuskan antara lain, kepemimpinan menurut Kartono (2010) merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, kekuatan moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka menjadi conform dengan keinginan pemimpin. Menurut Robbin dan Judge (2008) Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi suatu kelompok kearah pencapaian tujuan. Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi dalam menentukan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya (Rivai, 2003). Berdasarkan definisi yang sudah dijelaskan sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan aktivitas seseorang untuk mempengaruhi individu, kelompok, dan organisasi sebagai satu kesatuan sehingga kepemimpinan diberi makna sebagai kemampuan mempengaruhi semua anggota kelompok dan organisasi agar bersedia melakukan kegiatan atau bekerja untuk mencapai tujuan kelompok dan organisasi. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain atau masyarakat yang berbeda–beda menuju pencapaian tertentu. Kepemimpinan sebagai kesadaran dan keinginan untuk mempengaruhi orang lain, mereka kemudian memberikan tanggapan atas keinginan sendiri untuk mengikutinya. Kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi sebuah kelompok yang terorganisir untuk mencapai tujuan- tujuan mereka. Kepemimpinan berarti mempengaruhi orang–orang lain untuk mengambil tindakan, artinya seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi pengikutnya dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model, penetapan sasaran, memberi timbalan dan hukuman, restrukrisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi. Menurut William H.Newman (Thoha, 2007) kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Dan satu hal yang perlu diingat bahwa kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau tata karma birokrasi. Kepemimpinan bisa terjadi dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain kearah tercapainya suatu tujuan tertentu. Bahasan mengenai pemimpin dan kepemimpinan pada umumnya menjelaskan bagaimana untuk menjadi pemimpin yang baik, gaya dan sifat yang sesuai dengan kepemimpinan serta syarat-syarat apa yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik. Meskipun demikian masih tetap sulit untuk menerapkan seluruhnya, sehingga dalam prakteknya hanya beberapa pemimpin saja yang dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik dan dapat membawa para pengikutnya kepada keadaan yang diinginkan. Kepemimpinan dapat dikategorikan sebagai ilmu sosial terapan (applied social sciences). Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa kepemimpinan dengan prinsip-prinsipnya mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Kepemimpinan seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, mempunyai berbagai fungsi antara lain, menyajikan berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan dalam kepemimpinan dan memberikan pengaruh dalam menggunakan berbagai pendekatan dalam hubungannya dengan pemecahan aneka macam persoalan yang mungkin timbul dalam ekologi kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, yang mempunyai peran penting dalam rangka proses administrasi. Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa peran seorang pemimpin merupakan implementasi atau penjabaran dari fungsi kepemimpinan. Fungsi kepemimpinan merupakan salah satu di antara peran administrator dalam rangka mempengaruhi orang lain atau para bawahan agar mau dengan senang hati untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Siagian (2008) lima fungsi kepemimpinan yang dibahas secara singkat adalah sebagai berikut: 1. Pimpinan selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan. 2. Wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak diluar organisasi 3. Pimpinan selaku komunikator yang efektif. 4. Mediator yang handal, khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama dalam menangani situasi konflik. 5. Pimpinan selaku integrator uang efektif, rasional, obkjektif dan netral. B. Karakteristik Kepemimpinan Menurut Davis yang dikutip oleh Reksohadiprojo dan Handoko (2003) ciri-ciri utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah: 1. Kecerdasan (Intelligence), Penelitian pada umumnya menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari pada pengikutnya, tetapi tidak sangat bebrbeda. 2. Kedewasaan, sosial dan hubungan sosial yang luas (Social Maturity and Breadht) pemimpin cenderung mempunyai emosi yang stabil dan dewasa atau matang , serta mempunyai kegiatan dan perhatian yang luas. 3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi, Pemimpin secara relatif mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi, mereka bekerja keras lebih untuk nilai intrinsik. 4. Sikap-sikap hubungan manusiawi, Seorang pemimpin yang suka akan mengakui harga diri dan martabat pengikutpengikutnya, mempunyai perhatian yang tinggi dan berorientasi pada bawahannya. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi daripada bawahannya dan mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggl pula. Disamping itu untuk melihat gaya kepemimpinan seorang pemimpin dapat dilihat melalui indikator-indikator. Menurut Siagian (2002), indikator-indikator yang dapat dilihat sebagai berikut: 1. Iklim saling mempercayai. 2. Penghargaan terhadap ide bawahan. 3. Memperhitungkan perasaan para bawahan. 4. Perhatian pada kenyamanan kerja bagi para bawahan. 5. Perhatian pada kesejahteraan bawahan. 6. Memperhitungkan faktor kepuasan kerja para bawahan dalam menyelesaikan tugas tugas yang dipercayakan padanya. 7. Pengakuan atas status para bawahan secara tepat dan profesional. C. Tanggung Jawab dan Wewenang Kepemimpinan Tanggung jawab kepemimpinan menurut Miljus (Manullang, 2001) menyatakan bahwa tanggung jawab pemimpin: 1. Menentukan tujuan pelaksanaan kerja realitas (dalam arti kuantitas, kualitas, keamanan,dan sebagainya). 2. Melengkapi para karyawan dengan sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya. 3. Mengkomunikasikan pada karyawan tentang apa yang diharapkan dari mereka. 4. Memberikan susunan imbalan atau' hadiah yang` sepadan untuk mendorong prestasi. 5. Mendelegasikan wewenang apabila diperlukan dan mengundang partisipasi apabila memungkinkan. 6. Menghilangkan hambatan untuk pelaksanaan pekerjaas yang efektif. 7. Menilai pelaksanaan pekerja dan mellgkomunikasikan hasilnya. 8. Menunjukan perhatian kepada bawahan, yang penting dalam hal inl adalah tanggung jawab dalam memadukan seluruh kegiatan dan mencapai tujuan organisasi tersebut secara harmonis, sehingga tercapainya tujuan organisasi yang efektif dan efisien. D. Peranan Kepemimpinan Terdapat beberapa peranan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin diantaranya: 1. Integration, yaitu tindakan tindakan yang mengarah pada peningkatan koordinasi. 2. Communication, yaitu tindakan·tindakan yang mengarah pada meningkatnya saling pengertian,penyebaran informasl (transmission of information) 3. Product Emphasis, yaitu tindakan·tin akan yang berorientasi pada volume pekerjaan yang dilakukan. 4. Fraternization, yaitu tindakan-tindakan yang menjadikan pemimpin bagian dari kelompok. 5. Organization, yaitu tindakan-tindakan yang mengarah pada perbedaan dan penyesuaian daripada tugas-tugas. 6. Evaluation, yaitu tindakan-tindakan yang berkenaan dengan pendistribusian ganjaran-ganjaran atau hukuman-hukuman. 7. Innitation, yaitu tindakan-tindakan yang menghasilkan perubahan-perubahan pada kegiatan organisasi. 8. Domination, yaitu tindakan-tindakan yang menolak pemikiran-pemikiran seseorang atau anggota kelompok. E. Sifat-Sifat Pemimpin Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu antara lain dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas/mutu perilakunya, yang dipakai sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya. Menurut Ordway Tead (Kartono, 2010) sifat-sifat pemimpin terdiri dari: 1. Energi jasmaniah dan mental, Hampir semua pribadi pemimpin memiliki tenaga jasmani dan rohani yang luar biasa yaitu mempunyai daya tahan, keuletan, kekuatan atau tenaga yang istimewa yang tampaknya seperti tidak akan pernah habis. Hal ini ditambah dengan kekuatan-kekuatan mental berupa semangat juang, motivasi kerja, kesabaran, ketahanan batin dan kemauan yang luar biasa untuk mengatasai semua permasalahan yang dihadapi. 2. Kesadaran akan tujuan dan arah, Ia memiliki keyakinan yang teguh akan kebenaran dan kegunaan dari semua perilaku yang dikerjakan, dia tahu persis kemana arah yang akan ditujunya, serta pasti memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun bagi kelompok yang dipimpinnya. 3. Antusiasme, Pekerjaan yang dilakukan dan tujuan yang akan dicapai itu harus sehat, berarti, bernilai, memberikan harapan-harapan yang menyenangkan, memberikan sukses dan menimbulkan semangat kerja. Semua ini dapat membangkitkan antusiasme, optimisme, dan semangat besar pada pribadi pemimpin maupun para anggota kelompok. 4. Keramahan dan Kecintaan (friendliness amd affection), Kasih sayang dan dedikasi pemimpin dapat menjadi tenaga penggerak yang positif untuk melakukan perbuatan yang menyenangkan bagi semua pihak. Keramah tamahan itu mempunyai sifat mempengaruhi orang lain juga membuka setiap hati yang masih tertutup untuk menanggapi keramahan tersebut. 5. Integritas (keutuhan, kejujuran dan ketulusan hati), Pemimpin itu harus bersifat terbuka, merasa utuh bersatu, sejiwa dan seperasaan dengan bawahannya bahkan merasa senasib dan sepenanggungan dalam satu perjuangan yang sama. 6. Penguasaan Teknis, Setiap pemimpin harus memiliki satu atau beberapa kemahiran teknis tertentu, agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk memimpin kelompoknya. 7. Ketegasan dalam mengambil keputusan, Pemimpin yang berhasil itu pasti dapat mengambil keputusan secara tepat, tegas dan cepat sebagai hasil dari kearifan dan pengalamannya. Selanjutnya ia mampu meyakinkan para anggotanya akan kebenaran keputusannya. 8. Kecerdasan (Intelligence), Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin itu merupakan kemampuan untuk melihat dan memahami dengan baik, mengerti sebab dan akibat kejadian, menemukan hal-hal yang krusial dan cepat menemukan cara penyelesaiannya dalam waktu singkat. 9. Keterampilan mengajar (teaching skill), Pemimpin yang baik itu adalah seorang guru yang mampu menuntun, mendidik, mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan bawahannya untuk berbuat sesuatu. 10. Kepercayaan (Faith), Keberhasilan pemimpin itu pada umumnya sealu didukung kepercayaan bawahannya. Yaitu kepercayaan bahwa anggota pasti dipimpin dengan baik, dipengaruhi secara positif, dan diarahkan sasaran-sasaran yang benar. F. Fungsi Kepemimpinan Menurut Kartono (2010), fungsi seorang pemimpin terdiri dari : 1. Memandu. 2. Menuntun. 3. Membimbing. 4. Memberi atau membangunkan motivasi-motivasi kerja. 5. Mengemudikan organisasi. 6. Menjalin jaringan-jaringan komunikasi yang baik. 7. Memberikan supervise/pengawasan yang efisien. 8. Membawa para pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan. Menurut Nawawi (2003), secara operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan: 1. Fungsi instruktif, pemimpin berfungsi sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah), bilamana (waktu memulai, melaksanakan dan melaporkan hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif. Sehingga fungsi orang yang dipimpin hanyalah melaksanakan perintah. 2. Fungsi konsultatif, pemimpin dapat menggunakan fungsi ini sebagai komunikasi dua arah. Hal tersebut digunakan manakala pemimpin dalam usaha menetapkan keputusan yang memerlukan bahan pertimbangan dan berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. 3. Fungsi partisipasi, dalam menjalankan fungsi partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap anggota kelompok memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok, sesuai posisi masing-masing. 4. Fungsi delegasi, pemimpin memberikan pelimpahan wewenang membuat atau menetapkan keputusan. 5. Fungsi pengendalian, kepemimpinan yang efektif harus mampu mengatur aktifitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal G. Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan, mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan. Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s), yang dapat dinotasikan sebagai: k = f (p, b, s). Menurut Hersey dan Blanchard (1992), pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin. Adapun situasi menurut Hersey dan Blanchard (1992) adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan. Gaya kepemimpinan yang baik adalah suatu gaya yang dapat memaksimumkan produktivitas, kepuasan kerja, pertumbuhan, dan mudah menyesuaikan dengan segala situasi yang berkembang dan ada disekitar kita. Berikut ini definisi dari gaya kepemimpinan menurut para ahli: Gaya kepemimpinan adalah suatu norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 2007). Menurut Hersey dan Blanchard (1992), gaya kepemimpinan terdiri dari kombinasi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Perilaku tugas dimaksudkan sebagai kadar upaya pemimpin mengorganisasi dan menetapkan peranan anggota kelompok (pengikut); menjelaskan aktivitas setiap anggota serta kapan,dimana, dan bagaimana cara menyelesaikannya, dicirikan dengan upaya menetapkan pola organisasi, saluran komunikasi dan cara penyelesaian pekeljaan secara rinci dan jelas. Sedangkan perilaku hubungan merupakan kadar upaya pemimpin membina hubungan pribadi diantara mereka sendiri dan dengan para anggota kelompok mereka (pengikut) dengan membuka Iebar saluran komunikasi dan menyediakan dukungan sosio-emosional, psikologis, dan pemudahan perilaku. Gaya kepemimpinan seseorang merupakan perilaku yang dilakukan dan ditunjukan oleh seorang pemimpin di dalam memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap bawahannya dengan rasa mempercayai bawahan juga memuat bagaimana cara pemimpin bekerja sama dengan bawahannya dalam mengambil keputusan pembagian tugas dan wewenang, bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi dan bagaimana hubungan yang tercipta diantara pemimpin dan bawahannya tersebut. Menurut Hersey dan Blanchard (1992) gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan pemimpin dalam berinteraksi dengan bawahannya. Sementara itu, pendapat lain menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku (kata-kata dan tindakantindakan) dari seorang pemimpin yang dirasakan oleh orang lain. Menurut Rivai (2003), gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai. Selanjutnya Thoha (2007) gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan agar mau melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan yang diharapkan agar tercapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Gaya kepemimpinan banyak berpengaruh terhadap keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku pengikut-pengikutnya. Gaya merupakan kebiasaan yang melekat pada diri seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya. Stoner mengatakan gaya kepemimpinan adalah berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja (Pasolong, 2008). Ia membagi dua gaya kepemimpinan, yaitu: 1. Gaya yang berorientasi pada tugas. 2. Gaya yang berorientasi pada pegawai. Gaya ini menjalin hubungan bersahabat, saling percaya, dan saling menghargai dengan pegawai yang seringkali diizinkan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mempengaruhi mereka. Menurut Keating membagi dua gaya kepemimpinan, yaitu: 1. Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented). 2. Kepemimpinan yang berorientasi pada manusia (human relationship oriented) (Pasolong, 2008). Kedua gaya kepemimpinan tersebut dikembangkan ke dalam teori empat gaya kepemimpinan. Pertama, kekompakan tinggi dan kerja rendah. Gaya kepemimpinan ini berusaha menjaga hubungan baik, keakraban dan kekompakan kelompok, akan tetapi kurang memperhatikan unsur tercapainya tujuan kelompok. Inilah gaya kepemimpinan dalam perkumpulan sosial rekreatif. Kedua, kekompakan rendah dan kerja rendah. Gaya kepemimpinan ini menampilkan gaya kepemimpinan direktif. Ketiga, kerja tinggi dan kekompakan tinggi. Gaya kepemimpinan ini cocok digunakan untuk membentuk kelompok. Keempat, kerja tinggi dan kekompakan rendah. Gaya kepemimpinan yang kurang menekankan penyelesaian tugas dan kekompakan kelompok. H. Tipe Gaya Kepemimpinan Menurut Nawawi (2003) gaya kepemimpinan adalah perilaku atau cara yang dipilih dan dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku para anggota organisasi atau bawahannya. Tipe gaya kepemimpinannya antara lain: 1. Gaya Kepemimpinan Demokratis. Kepemimpinan Demokratis berorientasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik. Kekuatan kepemimpinan demokratis ini bukan terletak pada person atau individu pemimpin, akan tetapi kekuatan justru terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok. 2. Gaya Kepemimpinan Otoriter Gaya Otoriter ini menghimpun sejumlah perilaku atau gaya kepemimpinan yang bersifat terpusat pada pemimpin (sentralistik) sebagai satu-satunya penentu, penguasa, dan pengendali anggota organisasi dan kegiatannya dalam usaha mencapai tujuan organisasi. 3. Gaya Kepemimpinan Bebas (Laissez Faire) Pada gaya kepemimpinan bebas (Laissez Faire) ini sang pemimpin praktis tidak memimpin, dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semau sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya, semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahan sendiri. Menurut Siagian (2008) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya dikategorikan menjadi 5 (lima) tipe yakni: 1. Gaya Kepemimpinan Otokratik. Pengambilan keputusan seorang manajer yang otokratik akan bertindak sendiri dan memberitahukan bawahannya bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahan itu hanya berperan sebagai pelaksana karena tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pengambilan keputusan. Memelihara hubungan dengan para bawahannya, manajer yang otokratik biasanya dengan menggunakan pendekatan formal berdasarkan kedudukan dan statusnya dalam organisasi dan kurang mempertimbangkan apakah kepemimpinannya dapat diterima dan diakui oleh para bawahan atau tidak. Seorang pemimpin yang otokratik biasanya memandang dan memperlakukan para bawahannya sebagai orang-orang yang tingkat kedewasaan atau kematangannya lebih rendah dari tingkat kedewasaan atau kematangan pimpinan yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam interaksi yang terjadi tidak mustahil bahwa ia akan menonjolkan gaya memerintah dan bukan gaya mengajak. 2. Gaya Kepemimpinan Paternalistik Pemimpin paternalistik menunjukkan kecenderungan-kecenderungan bertindak sebagai berikut: Pengambilan keputusan, kecenderungannya menggunakan cara mengambil keputusan sendiri dan kemudian berusaha menjual keputusan itu kepada para bawahannya. Dengan menjual keputusan itu diharapkan bahwa para bawahan akan mau menjalankan meskipun tidak dilibatkan didalam proses pengambilan keputusan. 3. Gaya Kepemimpinan Kharismatik. Teori kepemimpinan belum dapat menjelaskan mengapa seseorang dipandang sebagai pemimpin yang kharismatik, sedangkan yang lain tidak. Artinya, belum dapat dijelaskan secara ilmiah faktor-faktor apa saja yang menjadi seseorang memiliki kharisma tertentu. 4. Gaya Kepemimpinan Laissez-faire. Karakteristik yang paling nampak dari seseorang pemimpin laissez-faire terlihat pada gayanya yang santai dalam memimpin organisasi. Dalam hal pengambilan keputusan, misalnya, seorang pemimpin laissez-faire akan mendelagisakan tugas-tugasnya kepada bawahannya, dengan pengarahan yang minimal atau bahkan sama sekali tanpa pengarahan sama sekali. 5. Gaya Kepemimpinan Demokratik. Pengambilan keputusan pemimpin demokratik pada tindakannya mengikutsertakan para bawahannya dalam seluruh pengambilan keputusan. Seorang pemimpin demokratik akan memilih model dan teknik pengambilan keputusan tertentu yang memungkinkan para bawahan ikut serta dalam pengambilan keputusan. Menurut Kismono (2001) gaya kepemimpinan terbagi atas 3 (tiga) yakni: 1. Gaya Kepemimpinan Otoriter, Pemimpin memusatkan kekuasaan dan keputusan- keputusan pada di pemimpin sendiri. Pemimpin memegang wewenang sepenuhnya dan memikul tanggung jawab sendiri. 2. Gaya Kepemimpinan Demokratis, Pemimpin mendelegasikan wewenangnya secara luas. Pembuatan pengambilan keputusan selalu dirundingkan dengan para bawahan, sehingga pemimpin dan bawahan bekerja dalam satu tim. 3. Gaya Kepemimpinan Bebas, Pemimpin hanya berpartisipasi minimum, para bawahannya menentukan sendiri tujuan yang akan di capai dan menyelesaikan sendiri masalahnya. Macam-macam gaya kepemimpinan menurut Robbins dan Judge (2008) terdiri dari : 1. Gaya Otokratis, Gaya otokratis menggambarkan pemimpin yang biasanya cenderung memusatkan wewenang, mendiktekan metode kerja, membuat keputusan unilateral, dan membatasi partisipasi karyawan. 2. Gaya Demokratis, Gaya Demokratis menggambarkan pemimpin yang cenderung melibatkan karyawan dalam mengambil keputusan, mendelegasikan wewenang, mendorong partisipasi dalam memutuskan metode dan sasaran kerja, dan menggunakan umpan balik sebagai peluang untuk melatih karyawan. 3. Gaya Laissez Faire, Dalam gaya Laisezz Faire, pemimpin umumnya memberi kelompok kebebasan penuh untuk membuat keputusan dan menyelesaikan pekerjaan dengan cara apa saja yang dianggap sesuai. Menurut White dan Lippit Harbani (Pasolong, 2008) tipe gaya kepemimpinan terdiri dari 3 (tiga) macam yaitu: 1. Gaya kepemimpinan Otokratis, Dalam tipe ini, pemimpin menentukan sendiri “policy” dan dalam rencana untuk kelompoknya, membuat keputusan-keputusan sendiri namun mendapatkan tanggung jawab penuh. Bawahan harus patuh dan mengikuti perintahnya, jadi pemimpin tersebut menetukan atau mendiktekan aktivitas dari anggotanya. Pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bentuk perintah-perintah langsung kepada bawahan. Dalam kepemimpinan otokrasi terjadi adanya keketatan dalam pengawasan, sehingga sukar bagi bawahan dalam memuaskan kebutuhan egoistisnya. Kebaikan dari gaya kepemimpinan adalah : a. Keputusan dapat diambil secara tepat. b. Tipe ini baik digunakan pada bawahan yang kurang disiplin, kurang inisiatif, bergantung pada atasan dan kurang kecakapan. c. Pemusatan kekuasaan, tanggung jawab serta membuat keputusan terletak pada satu orang yaitu pemimpin. Kelemahannya dari gaya kepemimpinan adalah : a. Dengan tidak diikutsertakannya bawahan dalam mengambil keputusan atau tindakan maka bawahan tersebut tidak dapat belajar mengenai hal tersebut.Kurang mendorong inisiatif bawahan dan dapat mematikan inisiatif bawahannya tersebut. b. Dapat menimbulkan rasa tidak puas dan tertekan. c. Bawahan kurang mampu menerima tanggung jawab dan tergantung pada atasan saja. 2. Gaya kepemimpinan Demokrasi (Demokratis), Dalam gaya ini pemimpin sering mengadakan konsultasi dengan mengikuti bawahannya dan aktif dalam menentukan rencana kerja yang berhubungan dengan kelompok. Disini pemimpin seperti moderator atau koordinator dan tidak memegang peranan seperti pada kepemimpinan otoriter. Partisipan digunakan dalam kondisi yang tepat akan menjadikan hal yang efektif. Maksudnya supaya dapat memberikan kesempatan pada bawahannya untuk mengisi atau memperoleh kebutuhan egoistisnya dan memotivasi bawahan dalam menyelesaikan tugasnya untuk meningkatkan produktivitasnya pada pemimpin demokratis, sering mendorong bawahan untuk ikut ambil bagian dalam hal tujuan- tujuan dan metode-metode serta menyokong ide-ide dan saran-saran. Disini pemimpin mencoba mengutamakan “human relation” (hubungan antar manusia) yang baik dan mengerjakan secara lancar. Kebaikan dari gaya kepemimpinan ini adalah: a. Memberikan kebebasan lebih besar kepada kelompok untuk megadakan kontrol terhadap supervisor. b. Merasa lebih bertanggungjawab dalam menjalankan pekerjaan. c. Produktivitas lebih tinggi dari apa yang diinginkan manajemen dengan catatan bila situasi memungkinkan. d. Lebih matang dan bertanggung jawab terhadap status dan pangkat yang lebih tinggi. Kelemahannya dari gaya kepemimpinan ini adalah: a. Harus banyak membutuhkan koordinasi dan komunikasi. b. Membutuhkan waktu yang relatif lama dalam mengambil keputusan. c. Memberikan persyaratan tingkat “skilled” (kepandaian) yang relatif tinggi bagi pimpinan. d. Diperlukan adanya toleransi yang besar pada kedua belah pihak karena dapat menimbulkan perselisihan. 3. Gaya kepemimpinan Laissez Faire, Yaitu gaya kepemimpinan kendali bebas. Pendekatan ini bukan berarti tidak adanya sama sekali pimpinan. Gaya ini berasumsi bahwa suatu tugas disajikan kepada kelompok yang biasanya menentukan teknik-teknik mereka sendiri guna mencapai tujuan tersebut dalam rangka mencapai sasaran-sasaran dan kebijakan organisasi. Kepemimpinan pada tipe ini melaksanakan perannya atas dasar aktivitas kelompok dan pimpinan kurang mengadakan pengontrolan terhadap bawahannya. Pada tipe ini pemimpin akan meletakkan tanggung jawab keputusan sepenuhnya kepada para bawahannya, pemimpin akan sedikit saja atau hampir tidak sama sekali memberikan pengarahan. Pemimpin pada gaya ini sifatnya positif dan seolah-olah tidak mampu memberikan pengaruh kepada bawahannya. Kebaikan dari gaya kepemimpinan ini: a. Ada kemungkinan bawahan dapat mengembangkan kemampuannya, daya kreativitasnya untuk memikirkan dan memecahkan persoalan serta mengembangkan rasa tanggung jawab. b. Bawahan lebih bebas untuk menunjukkan persoalan yang ia anggap penting dan tidak bergantung pada atasan sehingga proses yang lebih cepat. Kelemahannya adalah : a. Bila bawahan terlalu bebas tanpa pengawasan, ada kemungkinan terjadi penyimpangan dari peraturan yang berlaku dari bawahan serta dapat mengakibatkan salah tindak dan memakan banyak waktu bila bawahan kurang pengalaman. b. Pemimpin sering sibuk sendiri dengan tugas-tugas dan terpisah dari bawahan. Beberapa tidak membuat tujuan tanpa suatu peraturan tertentu c. Kelompok dapat mengkambing hitamkan sesuatu, kurang stabil, frustasi, dan merasa kurang aman. I. Sifat-Sifat Pemimpin Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu antara lain dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas/ mutu perilakunya, yang dipakai sebagai criteria untuk menilai kepemimpinannya. Menurut Ordway Tead (Kartono, 2010) sifat-sifat pemimpin terdiri dari: 1. Energi jasmaniah dan mental, Hampir semua pribadi pemimpin memiliki tenaga jasmani dan rohani yang luar biasa yaitu mempunyai daya tahan, keuletan, kekuatan atau tenaga yang istimewa yang tampaknya seperti tidak akan pernah habis. Hal ini ditambah dengan kekuatan-kekuatan mental berupa semangat juang, motivasi kerja, kesabaran, ketahanan batin dan kemauan yang luar biasa untuk mengatasai semua permasalahan yang dihadapi. 2. Kesadaran akan tujuan dan arah, Ia memiliki keyakinan yang teguh akan kebenaran dan kegunaan dari semua perilaku yang dikerjakan, dia tahu persis kemana arah yang akan ditujunya, serta pasti memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun bagi kelompok yang dipimpinnya. 3. Antusiasme, Pekerjaan yang dilakukan dan tujuan yang akan dicapai itu harus sehat, berarti, bernilai, memberikan harapan-harapan yang menyenangkan, memberikan sukses dan menimbulkan semangat kerja. Semua ini dapat membangkitkan antusiasme, optimisme, dan semangat besar pada pribadi pemimpin maupun para anggota kelompok. 4. Keramahan dan Kecintaan (friendliness amd affection), Kasih sayang dan dedikasi pemimpin dapat menjadi tenaga penggerak yang positif untuk melakukan perbuatan yang menyenangkan bagi semua pihak. Keramah tamahan itu mempunyai sifat mempengaruhi orang lain juga membuka setiap hati yang masih tertutup untuk menanggapi keramahan tersebut. 5. Integritas (keutuhan, kejujuran dan ketulusan hati), Pemimpin itu harus bersifat terbuka, merasa utuh bersatu, sejiwa dan seperasaan dengan bawahannya bahkan merasa senasib dan sepenanggungan dalam satu perjuangan yang sama. 6. Penguasaan Teknis, Setiap pemimpin harus memiliki satu atau beberapa kemahiran teknis tertentu, agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk memimpin kelompoknya. 7. Ketegasan dalam mengambil keputusan, Pemimpin yang berhasil itu pasti dapat mengambil keputusan secara tepat, tegas dan cepat sebagai hasil dari kearifan dan pengalamannya. Selanjutnya ia mampu meyakinkan para anggotanya akan kebenaran keputusannya. 8. Kecerdasan (Intelligence), Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin itu merupakan kemampuan untuk melihat dan memahami dengan baik, mengerti sebab dan akibat kejadian, menemukan hal-hal yang krusial dan cepat menemukan cara penyelesaiannya dalam waktu singkat. 9. Keterampilan mengajar (teaching skill), Pemimpin yang baik itu adalah seorang guru yang mampu menuntun, mendidik, mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan bawahannya untuk berbuat sesuatu. 10. Kepercayaan (Faith), Keberhasilan pemimpin itu pada umumnya sealu didukung kepercayaan bawahannya. Yaitu kepercayaan bahwa anggota pasti dipimpin dengan baik, dipengaruhi secara positif, dan diarahkan sasaran-sasaran yang benar. J. Teori Kepemimpinan Adapun teori kepemimpinan menurut Terry yang dikutip oleh Kartono (2010) adalah sebagai berikut: 1. Teori Otokratis Menurut teori ini gaya kepemimpinan didasarkan atas perintah-perintah dan paksaan. Pemimpin melakukan pengawasan yang ketat, agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien. Kepemimpinannya berorientasi pada tugasnya masing-masing sesuai dengan yang ada pada struktur organisasi dalam perusahaan tersebut. Pemimpin ini hanya berperan sebagai pemain tunggal dan sangat ingin menguasai situasi, sikapnya selalu jauh dari bawahan sebab menganggap dirinya sebagai seseorang yang sangat istimewa dibandingkan dengan bawahannya. 2. Teori Psikologis Pada teori ini menyatakan bahwa seorang pemimpin berfungsi untuk memunculkan dan mengembangkan sistem motivasi terbaik, untuk merangsang bawahannya agar siap untuk bekerjasama dengannya dalam pelaksanaan kegiatan perusahaan guna mencapai tujuan perusahaan ataupun tujuan individu bawahannya tersebut. 3. Teori Sosiologis Dalam teori ini gaya kepemimpinan dianggap sebagai cara untuk melancarkan interaksi sosial dalam perusahaan dan digunakan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan konflik antar anggota dalam perusahaan. Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan dengan menyertakan bawahan dalam pengambilan keputusan terakhir. Dan diharapkan pemimpin dapat mengambil tindakan-tindakan positif apabila ada kepincangan dan penyimpangan dalam organisasi. 4. Teori Suportif Menurut teori ini, semua bawahan harus mempunyai semangat yang besar dalam melaksanakan setiap pekerjaannya dan pemimpin akan membimbing dan mengarahkan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu pemimpin harus menciptakan suasana yang menyenangkan dalam lingkungan kerja yang akan membuat para karyawannya mempunyai keinginan untuk bekerja secara maksimal. 5. Teori Laissez Faire Dalam teori ini menjelaskan bahwa pemimpin tidak mampu mengurus perusahaanya dengan baik tetapi dia menyerahkan setiap pekerjaan kepada bawahan. Dalam hal ini pemimpin hanya sebagai simbol/ tanda saja dan dia tidak memiliki keterampilan teknis. Maka semua hal itu mengakibatkan tidak adanya kewibawaan dari pemimpin tersebut serta tidak mampu mengontrol dan mengkoordinasikan setiap pekerjannya. 6. Teori Kelakuan Pribadi Teori ini menyatakan bahwa seorang pemimpin itu selalu berkelakuan kurang lebih sama, yaitu ia tidak melakukan tindakan-tindakan yang identik sama dalam setiap situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, dia harus mampu bersikap fleksibel dan bijaksana karena dia harus mampu mengambil langkah yang paling tepat untuk suatu masalah. 7. Teori Sifat Orang-Orang Besar Sudah banyak yang dilakukan orang untuk mengidentifikasikan sifat-sifat unggul dan kualitas superior serta unik yang diharapkan ada pada seorang pemimpin untuk meramalkan kesuksesan kepemimpinannya. Ada beberapa ciri-ciri unggul yang diharapkan akan dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu memiliki intelegensi tinggi, banyak inisiatif, energik, punya kedewasaan emosional, memiliki daya persuasif, keterampilan komunikatif, percaya diri, peka, kreatif, mau memberikan partisipasi sosial yang tinggi dan lain-lain. 8. Teori Situasi Menurut teori ini harus terdapat fleksibilitas yang tinggi pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi yang terjadi, lingkungan sekitar dan zamannya. Faktor lingkungan dapat dijadikan tantangan untuk diatasi. Maka pemimpin harus mampu menyelesaikan masalah-masalah aktual yang sedang terjadi pada masa itu. Sebab setiap masalah ataupun kejadian-kejadian tersebut bisa memunculkan satu tipe pemimpin yang baik. 9. Teori Humanistik/Populastik Menurut teori ini adalah merealisir kebebasan manusia dan memenuhi kebutuhan insani, yang dicapai melalui interaksi antara pemimpin dan bawahan. Untuk hal itu perlu adanya organisasi yang baik dan pemimpin yang baik yang mau memperhatikan kepentingan dan kebutuhan bawahannya. 10. Teori Sifat Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki pemimpin itu. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya. Ada beberapa ciri-ciri ideal yang perlu dimiliki pemimpin menurut Siagian (2008) adalah: 1. Pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang kuat, rasionalitas, obyektivitas, pragmatisme, fleksibilitas, adaptabilitas, orientasi masa depan. 2. Sifat inkuisitif, rasa tepat waktu, rasa kohesi yang tinggi, naluri relevansi, keteladanan, ketegasan, keberanian, sikap yang antisipatif, kesediaan menjadi pendengar yang baik, kapasitas integratif. 3. Kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang, analitik, menentukan skala prioritas, membedakan yang urgen dan yang penting, keterampilan mendidik, dan berkomunikasi secara efektif. Walaupun teori sifat memiliki berbagai kelemahan (antara lain: terlalu bersifat deskriptif, tidak selalu ada relevansi antara sifat yang dianggap unggul dengan efektivitas kepemimpinan) dan dianggap sebagai teori yang sudah kuno, namun apabila kita renungkan nilai-nilai moral dan akhlak yang terkandung didalamnya mengenai berbagai rumusan sifat, ciri atau perangai pemimpin; justru sangat diperlukan oleh kepemimpinan yang menerapkan prinsip keteladanan. Teori Perilaku Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, pemimpin mempunyai deskripsi perilaku: 1. Konsiderasi dan struktur inisiasi, Perilaku seorang pemimpin yang cenderung mementingkan bawahan memiliki ciri ramah tamah,mau berkonsultasi, mendukung, membela, mendengarkan, menerima usul dan memikirkan kesejahteraan bawahan serta memperlakukannya setingkat dirinya. Di samping itu terdapat pula kecenderungan perilaku pemimpin yang lebih mementingkan tugas organisasi. 2. Berorientasi kepada bawahan dan produksi, perilaku pemimpin yang berorientasi kepada bawahan ditandai oleh penekanan pada hubungan atasan-bawahan, perhatian pribadi pemimpin pada pemuasan kebutuhan bawahan serta menerima perbedaan kepribadian, kemampuan dan perilaku bawahan. Sedangkan perilaku pemimpin yang berorientasi pada produksi memiliki kecenderungan penekanan pada segi teknis pekerjaan, pengutamaan penyelenggaraan dan penyelesaian tugas serta pencapaian tujuan. Pada sisi lain, perilaku pemimpin menurut model leadership continum pada dasarnya ada dua yaitu berorientasi kepada pemimpin dan bawahan. Sedangkan berdasarkan model grafik kepemimpinan, perilaku setiap pemimpin dapat diukur melalui dua dimensi yaitu perhatiannya terhadap hasil/tugas dan terhadap bawahan/hubungan kerja. Kecenderungan perilaku pemimpin pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah fungsi dan gaya kepemimpinan. Teori Situasional Keberhasilan seorang pemimpin menurut teori situasional ditentukan oleh ciri kepemimpinan dengan perilaku tertentu yang disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan dan situasi organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu dan ruang. Faktor situasional yang berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan tertentu menurut Siagian (2008) adalah: 1. Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas. 2. Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan. 3. Persepsi, sikap dan gaya kepemimpinan. 4. Norma yang dianut kelompok. 5. Rentang kendali. 6. Ancaman dari luar organisasi. 7. Tingkat stress. 8. Iklim yang terdapat dalam organisasi. Efektivitas kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kemampuan "membaca" situasi yang dihadapi dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar cocok dengan dan mampu memenuhi tuntutan situasi tersebut. Penyesuaian gaya kepemimpinan dimaksud adalah kemampuan menentukan ciri kepemimpinan dan perilaku tertentu karena tuntutan situasi tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut berkembanglah model-model kepemimpinan berikut: 1. Model kontinuum Otokratik-Demokratik Gaya dan perilaku kepemimpinan tertentu selain berhubungan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, juga berkaitan dengan fungsi kepemimpinan tertentu yang harus diselenggarakan. Contoh: dalam hal pengambilan keputusan, pemimpin bergaya otokratik akan mengambil keputusan sendiri, ciri kepemimpinan yang menonjol ketegasan disertai perilaku yang berorientasi pada penyelesaian tugas.Sedangkan pemimpin bergaya demokratik akan mengajak bawahannya untuk berpartisipasi. Ciri kepemimpinan yang menonjol di sini adalah menjadi pendengar yang baik disertai perilaku memberikan perhatian pada kepentingan dan kebutuhan bawahan. 2. Model " Interaksi Atasan-Bawahan" : Menurut model ini, efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada interaksi yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya dan sejauhmana interaksi tersebut mempengaruhi perilaku pemimpin yang bersangkutan. Seorang akan menjadi pemimpin yang efektif, apabila: a. Hubungan atasan dan bawahan dikategorikan baik. b. Tugas yang harus dikerjakan bawahan disusun pada tingkat struktur yang tinggi. c. Posisi kewenangan pemimpin tergolong kuat. 3. Model Situasional Model ini menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa bawahan. Dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam model ini adalah perilaku pemimpin yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasan-bawahan. Berdasarkan dimensi tersebut, gaya kepemimpinan yang dapat digunakan adalah: a. Memberitahukan. b. Menjual. c. Mengajak bawahan berperan serta. d. Melakukan pendelegasian. 4. Model “Jalan- Tujuan" Seorang pemimpin yang efektif menurut model ini adalah pemimpin yang mampu menunjukkan jalan yang dapat ditempuh bawahan. Salah satu mekanisme untuk mewujudkan hal tersebut yaitu kejelasan tugas yang harus dilakukan bawahan dan perhatian pemimpin kepada kepentingan dan kebutuhan bawahannya. Perilaku pemimpin berkaitan dengan hal tersebut harus merupakan faktor motivasional bagi bawahannya. 5. Model "Pimpinan-Peran serta Bawahan" Perhatian utama model ini adalah perilaku pemimpin dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan. Perilaku pemimpin perlu disesuaikan dengan struktur tugas yang harus diselesaikan oleh bawahannya. Salah satu syarat penting untuk paradigma tersebut adalah adanya serangkaian ketentuan yang harus ditaati oleh bawahan dalam menentukan bentuk dan tingkat peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan. Bentuk dan tingkat peran serta bawahan tersebut "didiktekan" oleh situasi yang dihadapi dan masalah yang ingin dipecahkan melalui proses pengambilan keputusan. BAB VI JARINGAN KOMUNIKASI Pengertian Jaringan Komunikasi Peranan Jaringan Komunikasi Dalam Proses Perubahan Perilaku Proses Komunikasi Pada Jaringan Komunikasi Analisis Jaringan Komunikasi Jaringan Komunikasi dan Adopsi Inovasi A. Pengertian Jaringan Komunikasi Jaringan merupakan sebuah sistem dari garis komunikasi yang berhubungan dengan pengirim dan penerima di dalam sebuah fungsi sosial organisasi, yang mempengaruhi prilaku individu yang bekerja di dalamnya dan posisi individu yang bekerja dalam jaringan terebut serta memainkan peranan kunci dalam menentukan perilaku, dan perilaku orang yang mereka pengaruhi. Lewis membagi 4 (empat) fungsi dari jaringan komunikasi, yaitu: 1. Keteraturan jaringan. 2. Temuan-temuan/inovatif jaringan. 3. Keutuhan integratif/pemeliharaan jaringan. 4. Jaringan informatif-instruktif. Tiap jaringan tersebut berhubungan antara satu atau lebih tujuan pengorganisasian (misalnya, kecocokan, penyesuaian, moral, dan institusionalisasi). Berdasarkan Keempat fungsi jaringan komunikasi tersebut diatas dijelaskan sebagai berikut: 1. Jaringan komunikasi yang teratur berhubungan dengan tujuan organisasi mengenai jaminan kesesuaian untuk perencanaan, jaminan produktivitas, termasuk kontrol- kontrol, pesanan-pesanan, bentuk-bentuk perintah dan feed back (umpan balik) sub ordinat dengan superior (yang lebih tinggi dalam tugas aktivitas). Contoh: pernyataan kebijakan dan aturan-aturan. 2. Jaringan komunikasi inovatif berusaha keras untuk memastikan adaptasi organisasi terhadap pengaruh internal dan eksternal (teknologi, sosiologi, pendidikan, ekonomi, politik) dan dukungan terhadap kelanjutan produktivitas dan keefektifan, termasuk pemecahan masalah, adaptasi untuk perubahan strategis, dan proses implementasi ide baru. Contoh: sistem sugesti dan pertemuan partisipasi pemecahan masalah. 3. Jaringan komunikasi integratif/pemeliharaan termasuk perasaan terhadap diri sendiri, gabungan (solidaritas) dan kerja yang secara langsung berhubungan dengan tujuan organisasi, utamanya masalah moral karyawan. Secara tidak langsung dihubungkan dengan institusionalisasi yang melibatkan organisasi diri dan mengambil jarak terhadap desas-desus, informal (tidak resmi), misalnya selentingan, pujian yang berlebihan, dan promosi. 4. Jaringan komunikasi informatif-instruktif bertujuan untuk menjamin tujuan yang lebih cocok, sesuai, bermoral, dan institusional. Dengan demikian akan meningkatkan produktivitas dan keefektifan. Hal ini meliputi pemberian dan perolehan informasi tidak diasosiasikan dengan jaringan komunikasi lain. Instruksi ini mensubordinasi persyaratan pekerjaan lebih awal, sebagai contoh:catatan buletin, publikasi perusahaan dan kegiatan pelatihan. Jaringan komunikasi adalah penggambaran “how say to whom”(siapa berbicara kepada siapa) dalam suatu sistem sosial. Jaringan komunikasi menggambarkan komunikasi interpersonal, dimana terdapat pemuka-pemuka opini dan pengikut yang saling memiliki hubungan komunikasi pada suatu topik tertentu, yang terjadi dalam suatu sistem sosial tertentu seperti sebuah desa, sebuah organisasi, ataupun sebuah perusahaan (Gonzales, 1993). Pengertian jaringan komunikasi menurut Rogers dan Kincaid (1983) adalah suatu jaringan yang terdiri dari individu-individu yang saling berhubungan, yang dihubungkan oleh arus komunikasi yang terpola. Knoke dan Kuklinski (1982) melihat jaringan komunikasi sebagai suatu jenis hubungan yang secara khusus merangkai individu-individu, obyek-obyek dan peristiwa- peristiwa. Jaringan komunikasi sebagai suatu pola yang teratur dari kontak antara personal yang dapat diidentifikasi sebagai pertukaran informasi yang dialami seseorang di dalam sistem sosialnya. Dari berbagai pengertian tersebut di atas, yang dimaksudkan dengan jaringan komunikasi adalah rangkaian hubungan diantara individu sebagai akibat terjadinya pertukaran informasi, sehingga membentuk pola-pola atau model-model jaringan komunikasi tertentu. B. Peranan Jaringan Komunikasi Dalam Proses Perubahan Perilaku Dalam suatu jaringan komunikasi, terdapat pemuka-pemuka opini, yaitu orang yang mempengaruhi orang-orang lain secara teratur pada isu-isu tertentu. Karakteristik pemuka- pemuka opini ini bervariasi menurut tipe kelompok yang mereka pengaruhi, Jika pemuka opini terdapat dalam kelompok-kelompok yang bersifat inovatif, maka mereka biasanya lebih inovatif daripada anggota kelompok, meskipun pemuka opini seringkali bukan termasuk inovator yang pertama kali menerapkan inovasi. Di pihak lain, pemuka-pemuka opini dari kelompok-kelompok yang konservatif juga bersikap agak konservatif (Gonzales,1993). Pada proses difusi, yaitu proses masuknya inovasi dalam suatu kelompok sehingga terjadi perubahan perilaku, hampir semua pemuka-pemuka opini menyokong perubahan. Akan tetapi, pada beberapa kasus tertentu pemuka-pemuka opini menentang pengadopsian suatu inovasi. C. Proses Komunikasi pada Jaringan Komunikasi Proses komunikasi pada jaringan komunikasi merupakan suatu proses yang dua arah dan interaktif diantara partisipan-partisipan yang terlibat. Berlo (1960) menganggap partisipan-parsitisipan ini sebagai transciever, karena keduanya mengirim dan menerima pesan-pesan. Jadi tidak hanya menjalankan satu fungsi sebagai penerima atau pengirim pesan belaka. Proses komunikasi yang terjadi dalam jaringan komunikasi dapat dijelaskan dengan menggunakan model konvergen sebagai berikut (Berlo, 1960; Rogers dan Kincaid, 1981): 1. Satu informasi bisa mengandung beberapa pengertian tergantung pada konteksnya, dan untuk mengambil pengertian tergantung pada “frame of reference”. 2. Terciptanya kesamaan makna akan suatu informasi antara komunikator dan komunikan merupakan tujuan utama berkomunikasi. 3. Hubungan interaktif antara komunikator dengan komunikan menggunakan saluran jaringan komunikasi, yaitu saluran untuk menyampaikan pesan dari satu orang kepada orang lain. Dari hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa proses komunikasi akan terjadi bila ada kesamaan pengertian terhadap informasi dari pelaku-pelaku yang berkomunikasi dengan menggunakan jaringan komunikasi yang menghubungkan individu dengan inidividu, atau individu dengan kelompok. Atau proses komunikasi untuk menciptakan kebersamaan, memunculkan “mutual understanding” dan persetujuan yang sama sehingga terbentuk tindakan dan perilaku yang sama (yang melandasi jaringan komunikasi). D. Analisis Jaringan Komunikasi Rogers dan Kincaid (1981) menjelaskan bahwa analisis jaringan komunikasi adalah merupakan metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam suatu sistem, dimana data hubungan mengenai arus komunikasi dianalisa menggunakan beberapa tipe hubungan-hubungan interpersonal sebagai unit analisa. Tujuan penelitian komunikasi menggunakan analisis jaringan komunikasi adalah untuk memahami gambaran umum mengenai interaksi manusia dalam suatu sistem. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam analisis jaringan komunikasi adalah: 1. Mengidentifikasi klik dalam suatu sistem. 2. Mengidentifikasi peranan khusus seseorang dalam jaringan komunikasi, misalnya sebagai liaisons, bridges dan isolated. 3. Mengukur berbagai indikator (indeks) struktur komunikasi, seperti keterhubungan klik, keterbukaan klik, keintegrasian klik, dan sebagainya. Klik dalam jaringan komunikasi adalah bagian dari sistem (sub sistem) dimana anggota-anggotanya relatif lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan anggota-anggota lainnya dalam sistem komunikasi (Rogers dan Kincaid, 1981). Dalam proses difusi, untuk mendapatkan informasi bagi anggota kelompok, dalam jaringan komunikasi terdapat peranan-peranan sebagai berikut (Rogers dan Kincaid, 1981): 1. Liaison Officer (LO), yaitu orang yang menghubungkan dua atau lebih kelompok/sub kelompok, akan tetapi LO bukan anggota salah satu kelompok/sub kelompok. 2. Gate keeper, yaitu orang melakukan filtering terhadap informasi yang masuk sebelum dikomunikasikan kepada anggota kelompok/sub kelompok. 3. Bridge, yaitu anggota suatu kelompok/sub kelompok yang berhubungan dengan kelompok/ sub kelompok lainnya. 4. Isolate, yaitu mereka yang tersisih dalam suatu kelompok/sub kelompok. 5. Kosmopolit, yaitu seseorang dalam kelompok/sub kelompok yang menghubungkan kelompok/sub kelompok dengan kelompok/sub kelompok lainnya atau pihak luar. 6. Opinion Leader, yaitu orang yang menjadi pemuka pendapat dalam suatu kelompok/sub kelompok Sebagai dasar untuk mengetahui apakah individu individu itu dapal dimasukan kedalam suatu klik atau tidak. Tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi klik yaitu: 1. Setiap klik minimal harus terdiri dari tiga anggota. 2. Setiap anggota klik minimal harus mempunyai derajat keterhubungan 50% dari hubungan hubungan di dalam klik. 3. Seluruh anggota klik baik secara langsung maupun tidak langsung harus saling berhubungan melalui suatu rantai hubungan dyadic yang berhubungan secara kontinyu dan menyeluruh di dalam klik (Rogers & Kincaid, 1981). Struktur jaringan komunikasi dapat dilihat dalam bagan dibawah ini. Setiap diagram menunjukkan adanya lima individu, meskipun suatu jaringan komunikasi bisa melibatkan sejumlah orang selain lima. Tanda panah menunjukkan arah pesan itu mengalir. Bentuk Jaringan Komunikasi Keefektifan sebuah kelompok dapat dianalisis melalui faktor situasionalnya. Salah satu faktor situasional yang memengaruhi adalah karakteristik kelompok yang salah satunya adalah jaringan komunikasi. Jaringan komunikasi dibagi menjadi lima yaitu: bentuk roda, rantai, Y, lingkaran dan bintang seperti pada gambar diatas. Pada jaringan komunikasi roda, ada seorang pemimpin yang menjadi fokus perhatian. Ia dapat berhubungan dengan seluruh anggota kelompok, tetapi setiap anggota kelompok hanya dapat berhubungan dengan pemimpinnya. Jadi, pemimpin sebagai komunikator dan anggota kelompok sebagai komunikan yang dapat melakukan feedback pada pemimpinnya namun tidak dapat berinteraksi dengan sesama anggota kelompoknya karena yang menjadi fokus hanya pemimpin tersebut Pada jaringan komunikasi rantai, satu anggota hanya dapat berkomunikasi dengan satu anggota lain lalu anggota lain tersebut dapat menyampaikan pesan tersebut pada anggota lainnya lagi begitu seterusnya. Sebagai contoh, si A dapat berkomunikasi dengan B, B dengan C, C dengan D, dan begitu seterusnya. Pada jaringan komunikasi Y, tiga orang anggota dapat berhubungan dengan orang-orang disampingnya seperti pada pola rantai, tetapi ada dua orang yang hanya dapat berkomunikasi dengan seseorang disampingnya. Pada jaringan komunikasi lingkaran, setiap orang hanya dapat berkomunikasi dengan dua orang disamping kiri dan kanannya. Dengan perkataan lain, disini tidak ada pemimpin. Pada jaringan komunikasi bintang, jaringan ini disebut juga jaringan komunikasi semua saluran/all channel sehingga setiap anggota dapat berkomunikasi dan melakukan timbal balik dengan semua anggota kelompok yang lain. Pola-pola komunikasi itu juga disebut sebagai klik. Dan biasanya diantara klik-klik ini terhubung satu dengan lainnya. Bila individu paling banyak menjadi rujukan bagi anggota- anggota klik, maka individu ini disebut sebagai star. Dan bila individu menjadi penghubung bagi anggota-anggota klik dalam berkomunikasi, maka individu ini disebut sebagai bridge. Bila individu terisolir atau tidak terhubung dengan anggota-anggota klik yang lain, maka ia disebut sebagai liaison. Jaringan-jaringan komunikasi terdiri atas individu-individu yang saling dihubungkan melalui pola-pola arus informasi. Cara berbagi arus informasi yang demikian dalam kurun waktu tertentu menuntun para individu untuk saling mendekatkan atau saling menjauhkan pengertian bersama mengenai sutau realitas. Yang dimaksud ”realitas” bukanlah realitas fisik itu sendiri, dimana para individu tidak mempunyai kepentingan langsung, tetapi lebih berupa informasi mengenai realitas fisik itu sendiri. Interaksi para individu dengan lingkungannya diantarkan oleh informasi. Banyak diantaranya bukan ditujukan pada realitas fisik melainkan pada sekelompok informasi yang lain. Saling pengertian dan persetujuan yang memadai mengenai informasi simbolik yang dihasilkan dan dibagi, merupakan prasyarat terjadinya aktivitas sosial (Rogers Scoemaker, 2003). Analisis jaringan komunikasi dalam organisasi terdapat prosedur-prosedur yang harus dijalankan, yaitu: 1. Mengidentifikasi klik-klik yang ada dalam suatu sistem secara keseluruhan dan menentukan bagaimana sub-sub struktural ini mempengaruhi komunikasi individu di dalam organisasi. 2. Mengidentifikasi peranan-peranan komunikasi khusus yang dimainkan oleh opinion leader, cosmopolite, gate keepers, liaisons, bridges, dan isolates, (c) mengukur berbagai indeks struktural (seperti keterpaduan dan keterhubungan komunikasi dengan keterbukaan sistem) bagi individu hingga sistem secara keseluruhan (Rogers and Kinkaid, 1981). Sementara itu yang dimaksud dengan klik adalah bagian dari sistem (sub sistem) dimana anggota-anggotanya relatif lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan anggota-anggota lainnya dalam sistem komunikasi. Sebagai dasar untuk mengetahui apakah individu-individu itu dapat dimasukkan ke dalam suatu klik, ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi klik, yaitu : 1. Setiap klik minimal harus terdiri dari tiga anggota. 2. Setiap klik minimal harus mempunyai derajat keterhubungan 50 persen dari hubungan-hubungan di dalam klik. 3. Seluruh anggota klik baik secara langsung maupun tidak langsung harus saling berhubungan melalui satu rantai hubungan dyadic yang berlangsung secara kontinyu dan menyeluruh di dalam klik (Rogers and Kincaid, 1981). E. Jaringan Komunikasi dan Adopsi Inovasi Mengenai keterkaitan antara adopsi inovasi dengan jaringan komunikasi, banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa ada hubungan positif antara keterlibatan seseorang dalam jaringan komunikasi dengan tingkat adopsi inovasi mereka. Rogers dan Kincaid (1981) menemukan bahwa ibu-ibu yang terikat dalam suatu jaringan komunikasi, terutama keanggotaannya dalam perkumpulan ibu-ibu, banyak mengadopsi cara-cara berkeluarga berencana. Sedangkan ibu-ibu lain yang tidak terikat dalam jaringan komunikasi itu. hanya sedikit yang mengadopsi. Rogers dan Shoemaker (2003) mengartikan inovasi sebagai: ide-ide baru, praktek- praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Sedang Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekadar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Pengertian "baru" disini, mengandung makna bukan sekadar "baru diketahui" oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat. Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku, atau gerakan- gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin diperluas menjadi: "Sesuatu ide, produk, informasi teknologi, kelembagaan, perilaku, nilai-nilai, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikaan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan". (Mardikanto, 1988)". Lionbergers (Pambudy, 1999) menyatakan bahwa karateristik individu atau personal adalah faktor yang perlu di perhatikan meliputi: Umur, pendidikan dan karateristik psikologis. Menurut Levis, (1996) adopsi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap suatu inovasi sejak mengenal, menaruh minat, menilai sampai menerapkan. Sedangkan Mardikanto (1993), menyatakan bahwa adopsi dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide atau alat teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan). Manisfestasi dari bentuk adopsi ini dapat diiihat atau diamati melalui tingkah laku, metode, maupun peralatan atau teknoiogi yang dipergunakan oleh para petemak atau penerima pesan. Tingkat kecepatan penerimaan inovasi oleh anggota sistem sosial disebut kecepatan adopsi (Rogers dan Shoemaker, 2003). Kecepatan ini biasanya diukur dengan jumlah penerima yang mengadopsi suatu ide baru dalam suatu periode waktu tertentu. Menurut Levis (1996), berdasarkan tujuannya komunikasi daiam adopsi inovasi dibedakan atas tiga yaitu: Pertama: komunikasi yang bertujuan untuk memberikan keterangan atau, informasi. Komunikasi jenis ini sifatnya informatif. Kedua: komunikasi persuasif, yaitu komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi perasaan atau emosi. Komunikasi dengan cara ini, sifatnya membujuk. Ketiga: komunikasi "entertainment, yartu komunikasi yang sifatnya sekedar memberikan hiburan pengisi waktu-waktu yang senggang. Di dalam kegiatan penyuluhan pertanian dtutamakan komunikasi informatif dan komunikasi persuasif. Levis (1996) lebih memandang kecepatan adopsi inovasi dari segi saluran komunikasi, yaitu bahwa penyampaian inovasi lewat media massa reiatif lebih iambat diadopsi oleh komunikan dibandingkan penyampaian inovasi melalui saluran interpersonal (hubungan antarpribadi). Sebab dengan hubungan langsung atau interpersonal para komunikan akan cepat menerima penjelasan-penjelasan dari komunikator setelah komunikan menyampaikan tanggapan-tanggapannya. Menurut Rogers, Schoemaker (2003), dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu: 1. Inovasi merupakan gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi 2. Saluran komunikasi merupakan ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan: (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal. 3. Jangka waktu merupakan proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam: (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial. 4. Sistem sosial merupakan kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama. Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers, Schoemaker (2003) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup: 1. Atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion). 2. Jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions). 3. Saluran komunikasi (communication channels). 4. Kondisi sistem sosial (nature of social system). 5. Peran agen perubah (change agents). Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup: 1. Tahap Munculnya Pengetahuan (knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi. 2. Tahap Persuasi (persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik . 3. Tahap Keputusan (decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi. 4. Tahapan Implementasi (implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi. 5. Tahapan Konfirmasi (confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya. Tahapan-tahapan Adopsi Inovasi dijabarkan sebagai berikut: 1. Kesadaran (awareness): sasaran mulai tau dan sadar tentang inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh. 2. Tumbuhnya minat (interest): keinginan untuk mengatahui lebih jauh sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan. 3. Evaluasi (evaluation): penilaian terhadap baik/buruk atau manfaat inovasi yeng telah diketahui informasinya secara lebih lengkap. 4. Mencoba (trial): melakukan percobaan dalam skala kecil untuk lebih meyakinkan penilaiannya. 5. Adopsi (adoption): menerima/menerapkan dengan penuh keyakinan berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah dilakukan dan diamatinya sendiri Kategori Adopter Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers, Schoemaker (2003). Pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut: 1. Innovators 2. Early Adopters 3. Early Majority 4. Late Majority (Pengikut Akhir) 5. Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional) Penerapan dan keterkaitan teori Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (2003) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: 1. Penemuan (invention) Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan. 2. Difusi (diffusion) Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial. 3. Konsekuensi (consequences) Konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi. Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and infrastructure’ (Brown, 1981). Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu: 1. Dimensi Sumber (Source) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru. 2. Dimensi Isi (Content) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya. 3. Dimensi Media (Medium) Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan. 4. Dimensi Pengguna (User), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud. Sistem Sosial Sistem sosial terdiri dari komponen komponen yang satu sama lain saling berinteraksi satu sama untuk mencapai tujuan, dan setiap komponen memainkan peranan dan fungsi tertentu, sehingga menghasilkan gerakan dalam keseluruhan sistem. Dalam proses difusi, yaitu penyebaran inovasi kedalam suatu sistem sosial, ketiga unsur ini saling berperan dan saling berinteraksi dalam komponen-komponen sosial. Pembahasan berikut ini akan diuraikan beberapa komponen sistem sosial yang berperan dalam proses penyebaran (difusi) Inovasi yaitu diantaranya: 1. Anggota sistem sosial sebagai penerima inovasi, peranan 2. Agen pembaharu 3. Tokoh masyarakat sebagai sumber bagi penyebaran ide baru 4. Saluran komunikasi yang dipergunakan dalam proses difusi 5. Peranan struktur sosial dakam difusi inovasi, yang erat kaitannya dengan salah satu prinsip komunikasi dalam usaha penyebaran ide baru (inovasi) yaitu heteropili dan homofili. BAB VII SALURAN DAN MEDIA KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI Saluran Komunikasi Media Internal dalam Organisasi A. Pengertian Saluran Komunikasi Saluran komunikasi adalah jalan yang dilalui oleh sebuah pesan yang berasal dari komunikator untuk dapat sampai ke komunikannya. Terdapat dua jalan agar pesan dari komunikator sampai ke komunikannya, yaitu tanpa media (nonmediated communication yang berlangsung face-to-face, tatap muka) atau dengan media. Media yang dimaksud di sini adalah media komunikasi seperti telepon, fax, email surat kabar, radio televisi dan sebagainya. Media merupakan bentuk jamak dari medium. Medium komunikasi kita artikan sebagai alat perantara yang sengaja dipilih komunikator untuk menghantarkan pesannya agar sampai ke komunikan. Saluran komunikasi merupakan alat yang digunakan sumber pesan dalam menyampaikan pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Saluran ini dianggap sebagai sarana penyampai informasi yang berasal dari sumber kepada penerima informasi dengan berbagai jenis saluran komunikasi yang dapat digunakan sesuai dengan informasi yang disampaikan. Menurut Rogers Schoemaker (2003) mengatakan bahwa ada dua macam saluran komunikasi yang dapat menyampaikan pesan-pesan pembangunan pertanian atau informasi pertanian yaitu: 1. Saluran media massa. 2. Saluran interpersonal. Rogers, Schoemaker (2003) menguraikan tentang kategorisasi saluran komunikasi bahwa seringkali sulit bagi bagi penerima pesan untuk membedakan sumber pesan dan saluran yang membawa pesan. Sumber adalah individu atau institusi yang menghasilkan pesan. Saluran adalah pesan yang didapatkan dari sumber untuk disampaikan kepada penerima. Menurut Rogers, Schoemaker (2003) beberapa tipologi saluran komunikasi, di antaranya: 1. Saluran interpersonal, yaitu komunikasi tatap muka dengan keluarga, tetangga/teman, pedagang alat usaha tani, penyuluh. Saluran interpersonal antar individu sangat efektif, ada dialog, interaktif, ada umpan balik langsung. Saluran interpersonal antar individu dapat merubah sikap khalayak, berlangsung tatap muka atara satu penerima atau lebih dengan pemberi informasi. Tempat pertemuan di kantor penyuluh, rumah, lahan atau pasar.Saluran media massa, yaitu dalam bentuk tercetak dan elektronik. Tercetak adalah: koran pedesaan, majalah, brosur, buku, poster. Elektronik adalah radio, televisi, internet. Saluran media massa mempunyai potensi menyebarkan informasi dengan cepat. Tabel Karakteristik saluran komunikasi media massa dan interpersonal Karakteristik Saluran Media Massa Interpersonal 1. Arus pesan 2. Konteks komunikasi Cenderung satu arah Mentransmisikan pesan melalui media Cenderung dua arah Tatap muka 2. Kemungkinan umpan balik 3. Kemampuan mengatasi proses selektif (selective exposure) 4. Kecepatan menjangkau khalayak dalam jumlah besar 5. Kemungkinan untuk menyesuaikan pesan dengan penerima 6. Biaya yang diperlukan untuk menjangkau per orang 7. Kemungkinan pesan diabaikan oleh penerima 8. Pesan yang sama bagi semua penerima pesan 9. Pihak pemberi informasi 10. Efek yang mungkin dihasilkan Rendah Rendah Relatif cepat dan efisien Kecil Rendah Tinggi Ya Pakar atau penguasa Perubahan Pengetahuan Tinggi Tinggi Relatif lambat dan tidak efisien Besar Tinggi Rendah Tidak Setiap orang Perubahan dan pembentukan sikap Sumber: Rogers dan Shoemaker (1995); Rogers (2003) Komunikasi interpersonal ialah komunikasi yang dilakukan kepada pihak lain untuk mendapatkan umpan balik, baik secara langsung (face to face) maupun dengan media. Berdasarkan definisi ini maka terdapat kelompok maya atau faktual (Burgon & Huffner, 2002). Contoh kelompok maya, misalnya komunikasi melalui internet (chatting, face book, email, etc.). Berkembangnya kelompok maya ini karena perkembangan teknologi media komunikasi. Saluran komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya. (Muhammad, 2005). Menurut Devito (1997), komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Menurut Effendi, pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas- luasnya (Sunarto, 2003). Menurut Redding yang dikutip Muhammad (2004) mengembangkan klasifikasi komunikasi interpersonal menjadi: 1. Interaksi intim termasuk komunikasi di antara teman baik, anggota famili, dan orang orang yang sudah mempunyai ikatan emosional yang kuat. 2. Percakapan sosial adalah interaksi untuk menyenangkan seseorang secara sederhana. Tipe komunikasi tatap muka penting bagi pengembangan hubungan informal dalam organisasi. 3. Interogasi atau pemeriksaan adalah interaksi antara seseorang yang ada dalam kontrol, yang meminta atau bahkan menuntut informasi dari yang lain. 4. Wawancara adalah salah satu bentuk komunikasi interpersonal di mana dua orang terlibat dalam percakapan yang berupa tanya jawab. Efektivitas Komunikasi Interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu: 1. Keterbukaan (Openness), Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. 2. Empati (empathy), Henry Backrack mendefinisikan empati sebagai ”Kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang. 3. Sikap mendukung (supportiveness), Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan bukan strategi, dan provisional bukan sangat yakin. 4. Sikap positif (positiveness), Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara, yakni menyatakan sikap positif dan secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. 5. Kesetaraan (Equality), Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kebutuhan komunikasi interpersonal dalam organisasi menurut Schutz yang dikutip oleh Muhammad (2009) mengidentifikasi 3 macam kebutuhan dasar yaitu: Pertama, kebutuhan akan kasih sayang. Kedua, kebutuhan diikutsertakan. Ketiga, kebutuhan akan kekuasaan atau kontrol. Karena kebanyakan komunikasi dalam organisasi terjadi dalam tingkatan interpersonal adalah penting untuk mengenal kebutuhan interpersonal yang kita punyai. Lalu Muhammad (2009) menjelaskan tujuan komunikasi interpersonal terdiri dari tujuan menemukan diri sendiri, menemukan dunia luar, membentuk dan menjaga hubungan yang penuh arti, merubah sikap dan tingkah laku, untuk bermain dan kesenangan untuk membantu. Hubungan interpersonal yang efektif menurut Roger yang dikutip oleh Muhammad (2009), hubungan interpersonal akan menjadi efektif apabila kedua belah pihak memiliki kondisi sebagai berikut: 1. Bertemu satu sama lain secara personal. 2. Empati secara tepat terhadap pribadi yang lain dan berkomunikasi yang dapat dipahami satu sama lain secara berarti. 3. Menghargai pengalaman satu sama lain dengan sungguh-sungguh, bersikap menerima dan empati satu sama lain. 4. Menghargai satu sama lain, bersifat positif dan wajar tanpa menilai atau keberatan. 5. Merasa bahwa saling menjaga keterbukaan dan iklim yang mendukung dan mengurangi kecenderungan gangguan. 6. Memperlihatkan tingkah laku yang percaya penuh dan memperkuat perasaan aman terhadap yang lain. Komunikasi interpersonal mungkin mempunyai beberapa tujuan. Disini akan dipaparkan enam tujuan, antara lain (Muhammad, 2009): 1. Menemukan diri sendiri Salah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah menemukan personal atau pribadi. Bila kita terlibat dalam pertemuan interpersonal dengan orang lain, kita belajar banyak sekali tentang diri kita maupun orang lain. Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan kepada kita untuk berbicara tentang apa yang kita sukai, atau mengenai diri kita. Adalah sangat menarik dan mengasyikkan bila berdiskusi mengenai perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita sendiri. Dengan membicarakan diri kita dengan orang lain, kita memberikan sumber balikan yang luar biasa pada perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita. 2. Menemukan dunia luar Hanya komunikasi interpersonal menjadikan kita dapat memahami lebih banyak tentang diri kita dan orang lain yang berkomunikasi dengan kita. Banyak informasi yang kita ketahui datang dari komunikasi interpersonal, meskipun banyak jumlah informasi yang datang kepada kita dari media massa hal itu sering kali didiskusikan dan akhirnya dipelajari atau didalami melalui interaksi interpersonal. 3. Membentuk dan menjaga hubungan yang penuh arti Salah satu keinginan orang yang paling besar adalah membentuk dan memelihara hubungan dengan orang lain. Banyak dari waktu yang kita pergunakan dalam komunikasi interpersonal diabadikan untuk membentuk dan menjaga hubungan sosial dengan orang lain. 4. Merubah sikap dan tingkah laku Banyak waktu kita pergunakan untuk mengubah sikap dan tingkah laku orang lain dengan pertemuan interpersonal. Kita boleh menginginkan mereka memilih cara tertentu, membeli barang tertentu, memasuki bidang tertentu. Kita banyak menggunakan waktu untuk terlibat dalam posisi interpersonal. 5. Untuk bermain dan kesenangan Bermain mencakup semua aktivitas yang mempunyai tujuan utama adalah mencari kesenangan. Berbicara dengan teman mengenai aktivitas kita pada waktu akhir pekan, menceritakan cerita. Dengan melakukan komunikasi interpersonal semacam itu dapat memberikan keseimbangan yang penting dalam pikiran yang memerlukan rileks dari semua keseriusan di lingkungan kita. 6. Untuk membantu Ahli-ahli kejiwaan, ahli psikologi klinis dan terapi menggunakan komunikasi interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk mengarahkan kliennya. Kita semua juga berfungsi membantu orang lain dalam interaksi personal kita sehari-hari. Kita berkonsultasi dengan mahasiswa tentang mata kuliah yang sebaiknya diambil dan lain sebagainya. Media komunikasi ialah perantara dalam penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan yang bertujuan untuk efisiensi penyebaran informasi atau pesan tersebut. Sedangkan untuk saluran komunikasi media massa merupakan perantara dalam penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan yang bertujuan untuk efisiensi penyebaran informasi atau pesan tersebut. Sedangkan fungsi media komunikasi yang berteknologi tinggi ialah sebagai berikut (Burgon & Huffner, 2002): 1. Efisiensi penyebaran informasi: dengan adanya media komunikasi terlebih yang hi-tech akan lebih membuat penyebaran informasi menjadi efisien. Efisiensi yang dimaksudkan di sini ialah penghematan dalam biaya, tenaga, pemikiran dan waktu. 2. Memperkuat eksistensi informasi: dengan adanya media komunikasi yang hi-tech, kita dapat membuat informasi atau pesan lebih kuat berkesan terhadap audience/ komunikan. 3. Mendidik/mengarahkan/persuasi: media komunikasi yang berteknologi tinggi dapat lebih menarik audience. 4. Menghibur/entertain/joyfull: media komunikasi berteknologi tinggi tentunya lebih menyenangkan (bagi yang familiar) dan dapat memberikan hiburan tersendiri bagi audience. Bahkan jika komunikasi itu bersifat hi-tech maka nilai jualnya pun akan semakin tinggi. 5. Kontrol sosial: media komunikasi yang berteknologi tinggi akan lebih mempunyai fungsi pengawasan terhadap kebijakan sosial. Dalam sebuah organisasi ada juga yang dikenal dengan saluran dan media komunikasi dapat bersifat formal dan informal. Saluran dan media komunikasi formal pada dasarnya sudah melekat pada garis kewenangan organisasi yang telah ditetapkan manajemen. Saluran dan media komunikasi formal dapat mengalirkan informasi ke bawah, ke atas atau ke samping. Saluran dan media komunikasi ke bawah digunakan oleh pimpinan untuk menyampaikan kebijakan, prosedur kerja, peraturan, instruksi, gagasan, dan umpan balik mengenai pelaksanaan pekerjaan bawahan. Saluran media komunikasi ke atas digunakan bawahan untuk menyatakan gagasan-gagasan, sikap dan perasaan mereka terhadap pekerjaan mereka, kebijaksanaan perusahaan, dan masalah-masalah lain yang melibatkan mereka. Sedangkan saluran dan media komunikasi ke samping digunakan untuk mengkoordinasikan kegiatan dan membantu dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Penyampaian informasi ke bawah, ke atas, dan ke samping melalui saluran dan media komunikasi formal dapat berbentuk lisan maupun tertulis atau bersifat satu arah maupun dua arah (Masmuh 2008). Saluran dan media komunikasi ke bawah harus ditetapkan agar manajemen puncak dan menengah dapat berkomunikasi secara efektif dengan karyawan bawahannya. Meskipun para manajer di semua tingkatan memandang penting penggunaan saluran dan media komunikasi lisan, tetapi sebagian besar komunikasi mereka akan melalui saluran dan media komunikasi tertulis; terutama jika organisasi perusahaan sudah berkembang cukup besar. Beberapa jenis saluran dan media komunikasi ke bawah tertulis contohnya deskripsi jabatan dan pedoman prosedur kerja, buku pedoman, majalah dan buletin perusahaan, memo dan intruksi tertulis, papan pengumuman, dan laporan tahunan yang dipublikasikan. Saluran dan media komunikasi ke atas tertulis misalnya kotak saran dan program saran. Saluran dan media komunikasi tertulis ke samping misalnya memo antar departemen (Masmuh 2008). Selain komunikasi tertulis, banyak organisasi modern telah memanfaatkan pemakaian komunikasi tatap muka langsung secara luas. Komunikasi lisan tidak hanya memungkinkan diperolehnya umpan balik yang lebih cepat dengan memberi kesempatan partisipan menyatakan informasi yang dimilikinya dan memberi saran tindakan-tindakan alternatif (Masmuh 2008). Saluran dan media komunikasi ke bawah lisan misalnya pembicaraan lewat telepon, komunikasi tatap muka antara atasan dan bawahan. Saluran dan media komunikasi ke atas lisan misalnya wawancara pemutusan hubungan kerja. Saluran dan media komunikasi ke samping lisan misalnya pembicaraan lewat telepon dan konferensi. B. Media Internal dalam Organisasi Media Internal merupakan salah satu sarana komunikasi, yang dapat digunakan untuk menyampaikan berbagai informasi dari suatu organisasi kepada khalayak. Dalam berhubungan dengan stakeholders, berbagai saluran komunikasi dibutuhkan organisasi termasuk didalamnya adalah penggunaan media internal. Media internal berupaya menjalin komunikasi dengan berbagai pihak terkait, sehingga organisasi itu mendapat dukungan dari publik atau stakeholdersnya sesuai dengan harapan pimpinan atau pengelola suatu organisasi. Media internalitu sendiri adalah publikasi menggunakan media yang secara khusus dibuat oleh organisasi/instansi untuk kalangan lingkungan dalam (internal). Kecenderungan ini didorong oleh semakin maraknya kajian mengenai pentingnya komunikasi di dalam organisasi, untuk menunjang pencapaiaan misi dan sasaran organisasi atau perusahaan tersebut. Media internal juga berfungsi sebagai alat untuk pembentuk citra (image building) suatu perusahaan karena media internal sendiri juga dapat dijadikan sebagai media promosi dan komunikasi kepada seluruh stakeholder dalam sebuah perusahaan. Pembaca media internal sendiri adalah seluruh public dalam internal perusahaan mulai jajaran pimpinan (direksi, manajemen) hingga karyawan terendah. Selain itu, media internal juga dapat dikonsumsi oleh “mitra kerja” atau “mitra usaha” dan konsumen, klien, dan publik yang menjadi target usaha atau asosiasi usaha di bidang yang terkait. Hal ini tentu jelas memperlihatkan pentingnya media internal bagi sebuah perusahaan. Selain itu, media internal tidak hanya terkait informasi tetapi juga mampu member motivasi public untuk membentuk kepercayaan pada Corporate. Menurut (Lattimore, 2010) mengemukakan bahwa media internal merupakan sarana media komunikasi karyawan yang dibuat agar pesan yang dibuat sampai kepada sasaran. Media internal sering disebut dengan “media terkontrol” yaitu media yang dapat kita kontrol. Sedangkan media internal menurut (Kusumastuti, 2004) merupakan suatu terbitan yang ditujukan untuk publik internal yang berisi tentang beberapa informasi perusahaan sifatnya top down maupun bottom up, tujuannya untuk menciptakan kondisi yang well informed dan membina loyalitas antara pegawai dengan perusahaan. Pengelolanya adalah bagian humas. Ragam sajiannya dapat berupa foto, pengumuman, artikel, berita (spot news maupun artikel) tentang institusi, program institusi, peraturan-peraturan baru, kegiatan- kegiatan institusi. Secara umum tujuan media internal adalah peningkatan hubungan antara karyawan dengan pihak manajemen. Media internal harus memenuhi kebutuhan organisasi dan para karyawan. Audiensi karyawan harus dapat melihat informasi dalam medium sebagai sesuatu yang bermanfaat dan bermakna bagi mereka. Menurut (Lattimore, 2010) tujuan media internal adalah peningkatan hubungan antara karyawan dengan pihak manajemen. Berikut merupakan media internal yang biasa digunakan dalam organisasi: 1. Leaflet, Selipan dan Lampiran. 2. Booklet dan Manual. 3. Papan Pengumuman. 4. Poster dan Papan Reklame. 5. Majalah. 6. Buletin. 7. Intranet. Menurut (Hardjana, 2000) berbicara tentang kualitas media mengenai persepsi karyawan tentang berbagai dokumen tertulis (buletin, laporan, pedoman, dll) adalah sebagai berikut: 1. Daya tarik untuk dibaca. 2. Cocok atau sesuai. 3. Efisien. 4. Terpercaya atau dapat diandalkan. Media internal sendiri biasanya dikelola oleh tim khusus dari Divisi Khusus Media atau menjadi tanggung jawab Departemen Public Relations /Corporate Communication. Hal ini dikarenakan, media internal merupakan salah satu “tools” dalam kegiatan Public Relations /Corporate Communication dalam perusahaan tertentu. Oleh karena itu, sebuah instansi, organisasi, atau perusahaan besar, kemungkinan Bagian Humas memiliki jurnalis (editor & reporter/penulis), fotografer, disainer multimedia yang khusus untuk menunjang divisi Public Relations /Corporate Communication dalam mengelola media internal tersebut. Untuk mengelola suatu media internal (non-komersial) secara professional dan serius, terdapat beberapa fungsi media internal menurut (Ruslan, 2010) yaitu: 1. Sebagai media hubungan komunikasi internal dan eksternal, yang diedarkan atau diberikan secara gratis dalam upaya penyampaian pesan-pesan, informasi, dan berita (bentuk, tulisan atau photo release) mengenai aktivitas perusahaan, manfaat produk barangjasa dan publikasi lainnya yang ditujukan kepada para konsumen, pelanggan, distributor, supplier, relasi bisnis, stake holder (hubungan dengan pihak-pihak terkait), stockholder (hubungan dengan pemilik) dan employee relations (hubungan pegawai dan keluarganya). 2. Sebagai ajang komunikasi khusus antar karyawan, misalnya ucapan selamat ulang tahun, adanya pegawai/pendatang baru, kegiatan olahraga, wisata, kegamaan, program kesehatan hingga berita duka cita serta kegiatan social lainnya. 3. Sebagai sarana media untuk “pelatihan dan pendidikan” dalam bidang tulis menulis bagi karyawan, serta staf Humas/PR yang berbakat atau berpotensi sebagai penulis. 4. Terdapat nilai tambah (value added) bagi departemen Humas/ PR untuk menunjukkan kemampuan dalam upaya memberikan media khusus yaitu In House Journal yang bermutu, kontinu, terbit secara berkala dan teratur dengan penampilan yang professional baik kualitas maupun segi kuantitas berita, lay out, isi halaman, susunan redaktur, gambar yang ditata dengan apik dan lebih menarik segi cover atau seninya (art) serta warna dan sebagainya. Media internal dalam organisasi sebagai saluran informasi, tentu prinsip-prinsip pengelolaannya, mematuhi kaidah komunikasi. Persoalannya, upaya apa yang dilakukan agar media internal bisa menjadi jembatan informasi yang penting dan efektif antara organisasi dengan pihak stakeholders. Dalam beberapa hal prinsip-prinsip pengelolaan media internal sama dengan media komunikasi pada umumnya. Pertama, berkaitan dengan pemilihan isu atau informasi aktual, yang menarik atau ‘dekat’ dengan kehidupan khalayak/pembaca. Disini, prinsip proximity, sebagaimana yang didengungkan dalam perspektif komunikasi, menjadi acuan dalam penyajian informasi untuk pembaca. Tak beda dengan sebuah album, pembaca akan tertarik membuka media itu, manakala potret dirinya atau yang terdekat dengan kepentingan, terekam/terwakili melalui media itu. Kedua, penggunaan pesan atau bahasa untuk media internal pun harus jelas, menarik sehingga mudah dipahami oleh khalayak. Pemakaian ilustrasi seperti gambar, foto dan sebagainya tentu akan mendukung daya tarik pembaca. Begitupun menyangkut design, termasuk lay out, jenis dan warna huruf yang digunakan, merupakan hal-hal yang mendukung daya tarik media internal. Ketiga, pengelolaan media internal pun harus mengindahkan atau mematuhi prinsip-prinsip etika jurnalistik, misalnya dalam pemakaian bahasa atau gambar yang sopan, yang tidak menyinggung perasaan atau prinsip kesusilaan. Keempat, yang juga tidak kalah penting adalah konsistensi waktu penerbitan. Tentu, agar semua itu terwujud, sangat diperlukan dukungan tenaga pengelola media internal yang profesional. Media internal tidak diproduksi untuk tujuan komersial, katakan untuk mendulang profit. Walaupun tanpa dipungkiri, bila pengelolaannya dilakukan secara baik, media internal itu akan menjadi sebuah profit centresejalan dengan kebijakan organisasi itu. Dalam hal waktu penerbitan, media internal pun cenderung memilih waktu penerbitan secara periodik: mingguan, dua mingguan atau bulanan, yang tentu semuanya terkait dengan kebijakan organisasi serta kemampuan tenaga para pengelola. Dewasa ini, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, bisa saja pengelolaan media internal dilakukan secara online. Para pembaca pun dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi yang disajikan dalam media tersebut. Sebuah media internal, bila dikelola dengan baik, dapat menjadi sebuah catatan penting, yang terkait sejarah hidup suatu organisasi. Publik akan mengetahui dan memahami sejarah perkembangan sebuah organisasi dari media yang diterbitkan secara rutin dan konsisten. Media internal pun akan menjadi dokumen bernilai yang terkait dengan citra sebuah organisasi. Namun, semua itu akan terwujud dengan baik manakala pihak Humas memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan media internal, dan yang tentunya pula didukung oleh komitmen pimpinan organisasi. DAFTAR PUSTAKA Armstrong M. 2000. The art of HkD. Vol 2. New Delhi: Crest Publishing House. Berlo DK. 1960. The Process of Communication An Intriduction to Theory and Practice. New York: Holt, Rinehart and Winston Inc. Bonar SK. 1993. Hubungan masyarakat modern. Jakarta: Rineka Cipta. Brown LA. 1981. Innovation Diffusion: A New Perpevtive. New York: Methuen and Co. Davis RC. 1996. Principles of Management. New York: Alexander Hamilton Institute. Devito JA. 1997. Komunikasi antar manusia. Jakarta: Profesional Books. Downs CW, Hazen MD. 1977. A factor analytic study of communication satisfaction. Journal of Business Communication. Effendy OU. 2009. Human Relation dan Public Relations. Jakarta: Mandar Maju. Goldhaber GM. 1993. Organizational communication. New York: McGraw Hill Company. Gonzales H. 1993. Beberapa Mitos Komunikasi dan Pembangunan. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga. Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Griffin. 2003. A First Look at Communication Theory. London: McGrraw-Hill Companies. Handoko TH. 2003, Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: BPFE. Hersey P, Blanchard K. 1992. Management of Organizational Behavior Utilizing Human Recources. Kartono K. 2010. “Pemimpin dan Kepemimpinan:Apakah Pemimpin Abnormal itu?”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kismono G. 2001. Bisnis Pengantar. Yogyakarta: BPFE. Knoke, David and James K. 1982. Network Analysis. London: Sage Publication. Koehler JW. 1976. Oraganizational Communication: Behavioral Perspective. New York: Holt. Kottler JP, Heskett JL. 1992. Corporate Culture and Performance. New York: The Press. Kusnan A. 2004. Analisis Sikap, Etos Kerja dan Disiplin Kerja dalam menentuknn efehivitas Kinerja Organisasi di Garnisun tetap III. Surabaya: Unair. Kreitner K. 2005. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba Empat. Levis LR.1996. Komunikasi Penyuluhan Pedesaan. Bandung: Citra Aditya Bakti. Liliweri A. 2007. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PT. Lukis Pelangi Aksara. Liliweri A. 1997. Sosiologi Organisasi Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Lionberger HF, Gwin PH. 1982. Communication Strategies : a Guide for Agricultural Change Agents. Danville, Illionis: The Interstate Printers & Publisher. Luthan F. 2008. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi. Mc Kenna et.al. 2002. The Essence Of Human Resource Management, London: Hall International Ltd. Manulang M, Manulang M. 2001. Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta: BPFE. Mardikanto T. 1993. Penyuluhan pembangunan pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Muhammad A. 2009. Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Mulyana D. 2005. Ilmu Komunikasi suatu Pengantar. Bandung: remadja Rodakarya. Nawawi H. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia yang kompetitif, Yogyakarta: Gajah Mada Press. Omeno M. 2007. Managing Corporate Communicaion: A New Approach to Corporate Communication. Pace RW, Faules D. 2002. Komunikasi organisasi strategi meningkatkan kerja perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Pembudi SP. 2006. CSR harus dilakukan. Makalah Pada Seminar CSR. Integrating social acpect into the business. Yogyakarta. Pasolong H. 2008. Kepemimpinan Birokrasi. Bandung: Alfabeta. Rahman G. 2000. Teori Organisasi dan Komunikasi. Terjemahan oleh Gazali Rahman. Makasar: Universitas Hasanuddin. Rahman R. 2009. Corporate social responsibility: Antara teori dan kenyataan. Yogyakarta: Med Press. Rivai V. 2003. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Robbins PS, Judge TA. 2008. Organizational Behavior:Concept, Controversies, Applications. Prentice-Hall International. Rogers EM, Schoemaker FF. 2003. Communication of innovations: A cross cultural approach. New York: The Free Press. Rogers EM, Kincaid LD. 1981. Communication Network Toward a New Paradigm for Research.. New York: The Free Press. Sandjaja SJ. 2004. Teori-Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Schein EH. 2004. Organizational culture and leadership. Printed in the United States of Americ: HB Printed. Soemirat S, Ardianto E, Suminar YR. 1999. Komunikasi Organisasi. Jakarta : Universitas Terbuka. Siagian PS. 2008. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta. Siagian PS. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Thoha M. 2007. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Tubbs S, Moss S. 2005. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Umar H. 2002. Metode riset komunikasi organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Van RCBM, Fomburn CJ. 2007. Essential Corporate Communications: Implementing practices for effective reputations management. USA: Routledge Taylor and Francis a Library. West R, Turner LH. 2010. Introducing Communication Theory, New York: McGraw Hil. Winardi J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta: Prenada Media. Wirawan. 2007, Budaya dan iklim organisasi, Salemba Empat, Jakarta. Wiryanto. 2005. Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: Grasindo. Yuli C. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Malang: Universitas Muhammadiyah. Yukl G. 2010. Kepemimpinan Dalam Organisasi. Jakarta: Indeks. RIWAYAT HIDUP Ilona Vicenovie Oisina Situmeang lahir di kota Serambi Mekah, 4 November 1980 putri kedua dari tiga orang bersaudara pasangan Drs. Salmon Alfred Situmeang, M.Hum dan Elfrida Moliana Simanjuntak. Menikah dengan Ir. Priyono MM, dikaruniai seorang putra bernama Pricillo Bhamakerty Abimanyu. Penulis lulus SMU St. Thomas 2 Medan 1998 melanjutkan di Universitas Sahid Jakarta, Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Hubungan Masyarakat, tahun 2003 melanjutkan pendidikan ke strata dua di Universitas Indonesia Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Manajemen Komunikasi. Melanjutkan pendidikan program Doktor di Institut Pertanian Bogor tahun 2008, Komunikasi Pembangun Pertanian dan Pedesaan selesai tahun 2012 dengan lulusan termuda program Doktor dari IPB. Tahun 2005 penulis memulai karir sebagai dosen di Universitas Persada Indonesia(UPI- YAI) Jakarta sampai dengan sekarang dan menjadi dosen tetap di Pascasarjana UPI YAI. Pada tahun 2005 – 2012 menggajar di Universitas Bung Karno Jakarta dan Universitas Kristen Indonesia. Pada tahun 2008 - 2013 mengajar di Universitas Sahid dan Tahun 2007 sampai sekarang mengajar di UPN Veteran Jakarta. Tahun 2011 sampai sekarang bekerja sebagai trainer dan motivator di PT Inti Tama Karsa, Jakarta. Tahun 2012 sampai sekarang menjadi Pengajar Bimbingan Teknis dari perusahaan maupun pemerintahan. Tahun 2012 sampai sekarang mengajar di Universitas Bunda Mulia Jakarta, Tahun 2013 mengajar di Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Selain itu juga aktif dilibatkan menjadi Juri Individu dan juri Corporate dan juri individu pada Event akbar ICCA yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Buku pertama penulis berjudul Etika Periklanan (2015), buku kedua penulis berjul Corporate Social Responsbility Dipandang Dari Perspektif Komunikasi Organisasi (2016) dan ini merupakan buku karya penulis yang ketiga. SINOPSIS Komunikasi dalam organisasi dilakukan untuk berkomunikasi dengan berbagai publik internal dan eksternal suatu organisasi. Komunikasi organisasi internal merupakan komunikasi dengan publik internal organisasi, dapat dilakukan melalui komunikasi vertikal dan horizontal. Sedangkan komunikasi eksternal merupakan komunikasi dengan publik eksternal organisasi seperti masyarakat, pemerintah, dan lain sebagainya. Lazimnya sebuah organisasi dipimpin oleh pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda tergantung dari organisasi yang dijalankan. Dalam organisasi memiliki saluran komunikasi organisasi untuk mempermudah operasional organisasi. Saluran komunikasi ini menghubungkan satu anggota organisasi dengan yang lainnya. Dalam organisasi dikenal dengan jaringan komunikasi, jaringan komunikasi memiliki berbagai model yang menghubungkan satu anggota dengan anggota yang lainnya.